Sejak dahulu, para petugas pajak selalu berjuang melawan mereka yang berupaya untuk menyembunyikan kekayaannya di luar negeri daripada membayar pajak di negara asalnya. Suka tidak suka, pajak adalah kontribusi wajib warga negara kepada komunitas.
Tentu saja tidak semua orang melihatnya demikian, terdapat orang-orang yang mencoba untuk mencari celah di dalam sistem hukum pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Salah satu cara untuk melawannya adalah dengan menerapkan Automatic Exchange of Information (AEoI) atau pertukaran data pajak secara otomatis antarnegara.
AEoI adalah pertukaran informasi otomatis mengenai rekening bank dan investasi keuangan antarotoritas pajak di tingkat global tanpa harus membuat permintaan khusus. Konsep ini merupakan versi terbaru yang diadaptasi dari US Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang merupakan upaya awal untuk mengidentifikasi kepemilikan harta warga negara Amerika Serikat (AS) yang disembunyikan di bank-bank luar negeri. Sejak 2014, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menyusun Common Reporting Standard (CRS) atau standar pelaporan umum di mana AEoI akan beroperasi.
Indonesia, Malaysia dan Singapura termasuk dalam 76 negara yang telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreements (MCAA) untuk menerapkan CRS per 24 Januari 2019, di mana setiap negara akan berpartisipasi menukarkan data yang dimiliki secara otomatis.
Tujuan AEOI adalah meningkatkan transparansi pelaporan pajak global, yang diharapkan dapat menangani isu beneficial ownership (pemilik sebenarnya). Seluruh bank, perusahaan sekuritas, asuransi dan institusi keuangan lainnya harus melaporkan aset beneficial owner. Sebagai contoh dalam kasus aset yang dipegang atas nama perusahaan yang didirikan di luar negeri, lembaga pelaporan harus mengetahui identitas ‘ultimate beneficial owner’ atau pemilik aset utama dari perusahaan dan melaporkannya.
Laporan tersebut mencakup data lengkap dari wajib pajak (WP) orang pribadi yang meliputi nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, nomor pokok wajib pajak (NPWP), nomor rekening dan rincian lengkap dari semua akun yang dimiliki, atau dilikuidasi pada tahun tersebut beserta keuntungan dari bunga, dividen dan investasi lainnya (jika ada). Tidak lupa pula, harus mencantumkan institusi yang melaporkan.
Dengan adanya pelaporan tersebut, diharapkan para wajib pajak akan lebih taat dan penghindaran pajak di dunia dapat berkurang. Sehingga pemerintah di seluruh dunia dapat mengumpulkan hak pajak yang seharusnya mereka terima.
Sebagai contoh di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak tidak pernah memenuhi apalagi melebihi target penerimaan pajak dalam satu dekade terakhir ini terkecuali pada tahun 2008 ketika diterapkan Sunset Policy. Penerimaan pajak pada tahun 2017 hanya sebesar Rp 1.151,1 triliun atau 89,68% dari target Rp 1.283,6 triliun. Sedangkan untuk realisasi penerimaan pajak tahun 2018 sebesar Rp 1.315.9 triliun atau hanya 92% dari target Rp 1.424 triliun.
Oleh karena itu, langkah strategis pun dilakukan oleh pemerintah Indonesia yakni menandatangani MCAA pada 26 Januari 2017 yang telah disahkan secara resmi oleh UU Nomor 9/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (termasuk penghapusan kerahasiaan bank). Dengan demikian, terdapat harapan untuk memperbaiki sistem manajemen informasi keuangan dalam negeri yang selama ini belum transparan dan akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/2018 ini dinilai sangat penting, karena memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengakses informasi mengenai rekening bank yang dimiliki oleh orang pribadi dengan jumlah minimal Rp 1 miliar. Sementara itu, tidak ada jumlah minimal untuk mengakses informasi pada rekening bank perusahaan dan investasi keuangan oleh orang pribadi maupun perusahaan.
Mungkin sekarang orang dapat melihat tujuan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dilakukan pada tahun 2017. Di mana saat ini kantor pajak memiliki alat baru untuk memonitor kepatuhan perpajakan para wajib pajak. Semua aset dan pinjaman harus dilaporkan secara akurat, karena jika tidak maka denda sebesar 60% dari nilai asset yang tidak dilaporkan akan menghantui para wajib pajak.
Selain itu, penerapan AEoI memiliki dampak signifikan terhadap aturan Controlled Foreign Corporation (CFC) sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017. Aturan ini memperluas kewajiban para wajib pajak Indonesia yang memiliki setidaknya 50% dari saham perusahaan asing, baik secara pribadi maupun kolektif untuk ditetapkan sebagai deemed dividend.
Hal yang belum kita ketahui dari implikasi AEOI ini adalah cara otoritas pajak Indonesia menerapkannya dan orang yang akan mereka targetkan. Dengan populasi lebih dari 260 juta orang, hanya sekitar 16,5 juta orang yang terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi, atau dengan kata lain pajak penghasilan pribadi menyumbang hanya 10% dari total pendapatan pajak Indonesia. Padahal di sebagian besar negara lainnya, kontribusi pajak penghasilan pribadi bisa lebih dari setengah dari total pendapatan pajak.
Terlepas dari hal tersebut, banyak orang yang khawatir dengan adanya keterbukaan informasi ini terhadap kemungkinan otoritas pajak justru akan menargetkan pada minoritas wajib pajak yang sudah patuh daripada bersusah-susah mengejar para wajib pajak yang belum terdaftar.
Namun, sebelum kita tahu arah yang dipilih oleh otoritas pajak, maka akan sulit untuk memprediksi dampak AEoI pada orang tertentu. Solusi terbaik dari hal ini adalah, seperti biasa, para wajib pajak terdaftar harus mematuhi peraturan serta memastikan pelaporan pajak mereka sudah lengkap sehingga kewajiban pajak dapat dilakukan dan dibayar dengan benar.
Sumber : beritasatu.com
Leave a Reply