Pemasok avtur di bandara-bandara di Tanah Air sebenarnya terbuka bagi swasta. Regulasinya juga sudah lama ada, namun memang hingga kini Pertamina menjadi pemain satu-satunya. Jadi, wajar pula BUMN ini menjadi satu-satunya sasaran tudingan menjual bahan bakar mahal, sebelum akhirnya maskapai penerbangan ramai-ramai menaikkan harga tiket, termasuk lewat cara tak lagi menggratiskan biaya bagasi.
Jika ditelusuri, avtur memang pantas menjadi perhatian, karena cukup menentukan dalam struktur biaya penerbangan, mencapai 24%. Sedangkan 76% cost lain yang memengaruhi harga tiket pesawat antara lain untuk pemeliharaan 19%, biaya sewa pesawat 16%, biaya asuransi 8%, katering 7%, jasa udara 2%, dan ground handling 2%.
Oleh karena itu, kita mendukung dimudahkannya pelaku usaha lain masuk ke bisnis avtur, agar kompetisinya lebih sehat. Dari sisi regulasi, aturan Badan Pengatur Hilir Migas No 13/P/BPH Migas/IV/2008 sebenarnya sudah membuka kesempatan swasta untuk masuk pasar. Grup perusahaan minyak Shell asal Belanda misalnya, juga pernah menjual avtur di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), dengan menyewa tangki-tangki BBM milik Pertamina.
Namun Shell hanya bertahan sebentar dan keluar dari bisnis ini pada 2009. Di sektor BBM lain, peristiwa hampir mirip terjadi pada SPBU asal negeri jiran Malaysia Petronas, yang akhirnya “melempar handuk” melawan Pertamina, Shell, dan Total asal Prancis.
Selama ini, pemain avtur sebenarnya juga tergiur untuk masuk ke Indonesia, karena pertumbuhan penumpang pesawat luar biasa, mencapai double digit dan frekuensi penerbangan makin banyak. Namun, untuk berinvestasi di sini tidak gampang.
Pasalnya, untuk memasok avtur ke bandara memerlukan infrastruktur dan mata rantainya banyak. Ini mulai dari kilang pengolah, kemudian avtur dipasok ke terminal BBM dengan berbagai moda transportasi, lewat pelabuhan atau darat tergantung letak bandara dan terminal penyimpanan BBM. Dari terminal BBM, avtur harus diangkut lagi ke bandara dan disimpan di fasilitas penampungan. Berikutnya, perlu ada pipa bawah tanah untuk menyalurkan avtur ke pesawat, atau menggunakan truk penyalur untuk memasok.
Masalahnya, semua infrastruktur yang ada sekarang di bandara Indonesia dibangun dan dimiliki oleh Pertamina saja, berbeda dengan di luar negeri seperti Singapura, yang dikelola atau dikerjasamakan oleh pihak bandara. Open access seperti inilah yang bisa menarik masuk pelaku lain, sehingga bisa ada kompetisi yang sehat.
Sementara itu, menyusul ancaman Presiden Joko Widodo untuk membuka kesempatan seluas-luasnya swasta menyalurkan avtur di Tanah Air usai menghadiri HUT Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), tercatat ada sejumlah perusahaan berminat masuk. PHRI ini mengeluhkan kenaikan tarif pesawat lewat pengenaan biaya bagasi maskapai LCC, yang menurunkan minat masyarakat berwisata.
Keluhan lain, masyarakat juga jadi enggan membeli oleh-oleh produksi UMKM lokal, karena sering ongkos bagasi jauh lebih mahal ketimang harga buah tangan ini. Padahal, semula orang suka memborong aneka oleh-oleh khas dari daerah, untuk dibawa pulang naik pesawat.
Swasta yang kini sudah mantap untuk memulai bisnis avtur di Tanah Air adalah PT AKR Corporindo Tbk, yang merupakan pemain lama ini BBM. Mereka bahkan telah menandatangani perjanjian kerja sama atau joint venture dengan BP, perusahaan minyak bumi yang bermarkas di Inggris.
Dengan masuknya swasta jualan avtur, ke depan, tidak perlu ada yang dikambinghitamkan dalam setiap rencana menaikkan harga tiket pesawat. Namun demikian, tentu saja swasta juga jangan hanya mengincar pasar-pasar gemuk avtur, seperti Bandara International Soekarno-Hatta. Mereka juga harus mau berbagi beban dengan Pertamina, untuk sama-sama menyediakan avtur di Indonesia bagian timur.
Masuknya pemain-pemain lain di pasar avtur ini juga mendorong iklim yang lebih sehat di bisnis penerbangan. Maskapai-maskapai penerbangan tak perlu menyalahkan harga avtur saat mereka hendak menaikkan tarif, ataupun rugi karena tidak efisien atau korupsi.
Di sisi lain, meski maskapai harus membayar mahal ongkos avtur di Indonesia dibanding sejumlah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, namun pemerintah juga perlu memeriksa lebih mendalam apa saja penyebabnya. Pasalnya, harga avtur di Bandara Soetta sebenarnya hanya Rp 8.210 per liter, lebih murah ketimbang yang dijual Shell Rp 8.900 di Kuala Lumpur.
Namun, akibat pemerintah Indonesia memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, maka yang harus dibayar maskapai totalnya Rp 9.031 per liter. Padahal, negara-negara lain tak menerapkan PPN atau menerapkan dengan persentase lebih kecil.
Itulah sebabnya, yang kini diributkan adalah biaya avtur untuk rute domestik yang menjadi dalih kenaikan tinggi total biaya tiket dan bagasi. Sedangkan untuk rute internasional naiknya tidak banyak, karena maskapai bisa membeli fuel di luar negeri untuk bolak balik, biar tidak kena PPN.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah juga fair dengan menghapuskan PPN avtur. Penghapusan PPN yang setara 2,4% komponen biaya maskapai penerbangan ini tentu membantu, karena bahkan lebih tinggi dari jasa udara atau ground handling yang juga dikeluhkan maskapai tarifnya mahal.
Di lain pihak, masyarakat juga perlu memahami bahwa secara regulasi maskapai berbiaya murah (low cost carrier/LCC) memang menerapkan bagasi berbayar. Hanya saja, sejak maraknya LCC di Indonesia, maskapai memang tidak memungut biaya bagasi hingga 20 kg, sebagai bagian promosi. Sayangnya, promosi ini tidak dijelaskan secara gamblang kepada konsumen dan terus dibiarkan dalam satu dekade terakhir, sehingga ketika diberlakukan tarif bagasi konsumen ribut.
Oleh karena itu, ke depan perlu ada sosialisasi informasi dan masa transisi yang cukup, jika ada perubahan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian, maskapai tidak dirugikan dan ditekan menahan tarif, saat ongkos sewa pesawat naik karena melemahnya rupiah dan harga minyak naik. Masyarakat juga bisa menikmati jasa penerbangan yang aman dan efisien, dengan tarif wajar.
Dengan demikian, masyarakat bisa legawa memilih tetap naik pesawat atau moda transportasi lain, seperti kapal, kereta, atau bus.
BUMN juga tidak perlu dikorbankan untuk mengejar kebijakan populis, di tahun politik.
Sumber : beritasatu.com

WA only
Leave a Reply