JAKARTA. Ketidakpuasan wajib pajak terhadap Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Meningkat. Hal ini terindikasi dari jumlah berkas sengketa pajak yang masuk ke pengadilan pajak sepanjang 2018 meningkat, sebesar 19,3% dibandingkan tahun 2017. Ditjen Pajak harus berbenah karena ketidakpuasan wajib pajak akan berefek terhadap kepatuhan membayar pajak.
Berdasarkan data statistik sekretariat pengadilan pajak, jumlah berkas sengketa pajak yang masuk berdasarkan terbanding atau tergugat tahun 2018 sebanyak 11.436 berkas, jauh lebih besar dari tahun 2017 hanya 9.579. Dari jumlah itu, sebanyak 7.813 berkas sengketa di Ditjen Pajak naik dari 2017 yang sebanyak 5.553 berkas.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengatakan, peningkatan sengketa karena tahun 2018 sudah tidak ada program pengampunan pajak (tax amnesty). “Tax amesty atau pada Juli 2016 hingga Maret 2017 menurunkan jumlah surat ketetapan pajak (SKP),” jelas Hestu saat dikonfirmasi, Sabtu (16/2).
Kedua, untuk ikut program tax amnesty tahun, wajib pajak yang sedang mengajukan keberatan dan banding harus mencabut sengketanya. Wajib pajak cukup membayar pokok pajak terutang dan dihapus sanksi di SKP.
Meski begitu, Hestu menyatakan Ditjen Pajak berupaya mengurangi ketidakpuasan wajib pajak dengan membenahi hal-hal yang berkaitan dengan multi tafsir juga memperbaiki proses pemeriksaan pajak. Sebagai langkah pertama Ditjen Pajak akan meningkatkan kualitas penerbitan SKP. “Kami lakukan revitalisasi pemeriksaan, dimana perencanaan pemeriksaan difokuskan pada wajib pajak yang benar-benar terindikasi tidak patuh, data yang menjadi trigger pemeriksaan juga harus berkualitas, dan potensi hasil pemeriksaan signifikan,” terang Hestu.
Ditjen Pajak juga meningkatkan pengendalian mutu proses pemeriksaan dengan menerbitkan SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak. Dalam proses itu, dilakukan review, peer review, bimbingan teknis kepada tenaga pemeriksa, dan prosedur quality assurance.
Ditjen Pajak juga akan memperbaiki ketentuan yang dianggap tumpang tindih dan multitafsir. “Ini misalnya dengan Perdirjen 30/2018 yang mencabut banyak Perdirjen dan Kepdirjen yang sudah tidak relevan dan menimbulkan multi tafsir,” kata Hestu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)Yustinus Prastowo menegaskan Ditjen Pajak harus membenahi tata kelola pemeriksaan pajak. Pasalnya, kenaikan jumlah sengketa pajak ke pengadilan pajak menunjukkan adanya peningkatan dispute. Pemeriksaan pajak banyak menciptakan dispute dan tidak bisa diselesaikan di quality assurance (QA), dan keberatan juga tidak bisa menyelesaikan sengketa. “Jadi ada masalah kompetensi atau keseragaman penafsiran dan penerapan di lapangan, dan faktor kelembagaan dalam hal ini desain lembaga keberatan dan QA yang lebih otonom,” terang Yustinus.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply