Saat ini Indonesia bukan satu-satunya negara yang mulai ingin mengadaptasi kendaraan listrik sebagai moda transportasi baru. Banyak negara-negara seperti China, Inggris, Amerika Serikat (AS) telah lebih dahulu mengembangkan dan mendorong penggunaan mobil listrik.
Untuk dapat benar-benar mengadaptasi teknologi tersebut, tentunya Indonesia akan menghadapi beberapa tantangan. Perubahan memang seringkali menuntut pengorbanan, kadangkala menyakitkan.
Menurut Sushant Gupta, Direktur Peneliti Wood Mackenzie, setidaknya ada tiga faktor kunci yang menjadi hambatan pertumbuhan kendaraan listrik, yaitu teknologi baterai, infrastruktur pengisian daya, dan ketersediaan energi listrik.
Teknologi Baterai
Saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik berada di kisaran US$ 200/kwh. Sebuah mobil listrik ukuran sedang (ukuran mobil penumpang biasa) rata-rata menggunakan kapasitas baterai 60 kwh untuk mencapai jarak 250-300. Alhasil, harga rata-rata baterai untuk satu mobil mencapai US$ 12.000, atau setara dengan Rp 171.600.000 (kurs Rp 14.300/US$). Pada posisi tersebut, harga mobil listrik (bila tidak disubsidi) akan lebih mahal sekitar 30-35% dibanding mobil konvensional.
Diprediksi pada tahun 2027, harga baterai akan turun menjadi US$ 100/kwh, atau terpangkas setengahnya. Pada saat itu, harga dari kendaraan listrik menjadi sangat kompetitif dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Setelah 2027 pertumbuhan kendaraan listrik akan semakin pesat.
Infrastruktur Pengisian Daya
Pos pengisian baterai mobil yang masih jarang ditemui sudah tentu akan membuat calon pembeli akan berpikir dua kali. Pasalnya bila pengisian daya baterai masih sulit untuk dilakukan, malah akan menghambat mobilitas.
Dalam hal ini, pemerintah memainkan peran besar untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang memadai untuk pengisian baterai. Dorongan kepada pelaku usaha dan pengelola fasilitas umum untuk menyediakan pos pengisian baterai perlu dilakukan bila ingin mendukung pertumbuhan mobil listrik
Ketersediaan Energi Listrik
Di banyak negara, ketersediaan listrik masih menjadi penghalang yang dapat menghambat penggunaan kendaraan listrik. Bagaimana mau mengisi daya baterai apabila listrik untuk rumah saja belum bisa tercukupi.
Untungnya, menurut Sushant, ketersediaan listrik di Indonesia sudah cukup untuk mendukung penggunaan kendaraan listrik. Akan tetapi, Bila ada banyak mobil listrik yang melakukan pengisian baterai pada saat yang bersamaan, seperti pada malam hari, maka beban puncak (peak load) listrik perlu ditingkatkan.
Mendorong Investasi
Bila ingin mendukung mobil listrik, maka pemerintah memegang peranan penting. Pasalnya, hingga harga mobil listrik dapat bersaing dengan mobil konvensional, subsidi mutlak diperlukan. Bila tidak, mobil listrik tidak akan memiliki daya tarik dari sisi ekonomi. Setidaknya hingga 2027.
Subsidi ini bukan hanya pembebasan pajak kepemilikan kendaraan saja. Tapi juga untuk mendukung ekosistem dan rantai pasokan yang memadai.
Contohnya, pemerintah bisa menarik minat investor untuk berinvestasi di sektor manufaktur baterai dan komponen lain yang dibutuhkan dengan cara memberikan insentif pajak dan sebagainya.
Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alam yang diperlukan untuk pembuatan baterai, seperti nikel dan kobalt. Membuat investasi terkait baterai untuk kendaraan listrik lebih menarik.
Saat ini sudah ada beberapa investor yang sudah menyatakan ketertarikan untuk membangun fasilitas pendukung ekosistem mobil listrik, seperti Hyundai. Tidak cukup hanya menunggu, pemerintah perlu membuat investasi tersebut lebih menarik, agar benar-benar terealisasi.
Pertumbuhan Mobil Listrik Tak Akan Ganggu Permintaan Bensin
Sushat memprediksi hingga 2027, pertumbuhan mobil listrik di Indonesia akan sangat minimum. Sampai saat itu populasi mobil listrik hanya akan berada di kisaran 5.000-10.000 unit. Sangat kecil dibandingkan dengan total populasi mobil konvensional yang mencapai 15 juta unit.
Setelah itu pertumbuhannya akan pesat. diprediksi pada tahun 2040, populasi mobil listrik di Indonesia akan mencapai 3,5 juta unit. Akan tetpi pada saat itu, jumlah mobil konvensional juga akan meningkat hingga 50 juta unit.
Artinya, porsi mobil listrik masih akan tetap kecil dibandingkan dengan mobil konvensional, bahkan pada tahun 2040 sekalipun.
Dampaknya, permintaan akan bensin cenderung tidak terpengaruh banyak dengan adanya mobil listrik. Sushant memperkirakan pada tahun 2040, populasi mobil listrik yang sebesar 3,5 juta unit hanya bisa mengurangi konsumsi bensin sebesar 60.000 barel/hari. Padahal saat itu konsumsi bensin mencapai 950.000 barel/hari bila tidak ada mobil listrik.
Sedangkan dalam jangka menengah (hingga 2027) permintaan bensin hanya akan terpangkas sebesar 30.000 barel/hari. Jumlah yang cukup kecil dibandingkan dengan konsumsi bensin yang akan mencapai 700.000 barel/hari. Hanya berkurang sekitar 4,3%.
Dengan demikian, alasan adaptasi teknologi mobil listrik lebih condong untuk kesehatan lingkungan. Dengan mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor, atmosfer bumi memang akan lebih terpelihara.
Pasalnya bila produksi minyak di Indonesia tidak ditingkatkan, impor minyak akan terus meningkat. Ujung-ujungnya transaksi berjalan akan terus terbebani. Devisa akan berhamburan ke luar negeri. Belum lagi ditambah beban subsidi yang meningkat bila benar akan memberikan insentif untuk kendaraan listrik.
Jadi, lebih memilih lingkungan, atau perekonomian?
Sumber: CNBC Indonesia
Leave a Reply