DJP ‘Tak Rela’ Rasio Pajak RI Disamakan dengan Malaysia

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tak bisa serta merta dibandingkan dengan Malaysia. Pasalnya, kondisi ekonomi dua negara yang berbeda membuat rasio pajak tak bisa dibandingkan secara setara (apple-to-apple).

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Kemenkeu Yon Arsal mengatakan perbedaan angka tax ratio Malaysia dan Indonesia disebabkan oleh tiga hal. Pertama, adalah skema perhitungan tax ratio.

Ia mengatakan, tax ratio Indonesia pada 2018 yang hanya memperhitungkan penerimaan pajak, bea cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sumber daya alam mencapai 11,5 persen dari PDB. Sementara itu, tax ratio Malaysia dengan memasukkan komponen yang serupa dengan Indonesia, namun ditambah dengan kontribusi pajak daerah, tercatat di kisaran 15 persen.

Saat ini, kontribusi pajak daerah di Indonesia mencapai 1,5 persen hingga 2 persen dari PDB. Dengan kondisi tersebut, jika perhitungan ini disetarakan dengan Malaysia, maka angka tax ratio Indonesia bisa mencapai 13 persen hingga 13,5 persen dari PDB.

“Makanya, kok tax ratio Indonesia disebut jauh dengan Malaysia? Padahal ini bandingannya apel dengan jeruk. Kalau dengan pajak daerah, tax ratio Indonesia bisa mencapai 13,5 persen, tidak begitu jauh beda dengan Malaysia yang 15 persen,” jelas Yon, Kamis (14/3).

Faktor kedua, yang membuat nilai tax ratio Malaysia dan Indonesia berbeda adalah struktur ekonominya. Saat ini, struktur PDB Indonesia masih disokong oleh sektor pertanian dengan besaran kontribusi ke PDB  berdasarkan data World Development Index 2017 sebesar 13,1 persen. Ini berbeda dengan Malaysia, di mana pertanian hanya menyumbang 8,2 persen dari PDB Negeri Jiran tersebut.

Kondisi ini juga mengakar hingga ke level Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di kedua negara. Pada 2017, sebanyak 60 persen PDB Indonesia disumbang dari UMKM. Sekitar 48,8 persen dari UMKM tersebut berkutat di sektor primer seperti; pertanian, perkebunan, dan perikanan. Sementara UMKM Malaysia hanya menyumbang 33 persen saja terhadap PDB, di mana 93,1 persennya berpusat di sektor jasa.

Menurut dia, semakin besar porsi pertanian dan UMKM di dalam struktur ekonomi suatu negara membuat pengumpulan pajaknya semakin susah. Sebab, rata-rata pekerja di sektor pertanian dan UMKM memiliki penghasilan di bawah ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selain itu, sektor pertanian dan UMKM juga didominasi oleh pekerja informal yang memang tak menyetor pajak.

Oleh karenanya, tak heran jika sumbangsih sektor pertanian ke penerimaan pajak Indonesia hanya 1,9 persen saja meski sumbangan terhadap PDB cukup signifikan.

“Sektor pertanian ini tentu menjadi tantangan penerimaan pajak karena banyak yang di bawah PTKP dan sifatnya informal. Sementara, kondisi UMKM di Malaysia yang mayoritas jasa, pajaknya masih bisa di-collect. Semakin mudah dipajaki, tentu tax ratio meningkat,” ujarnya.

Faktor ketiga yang membuat tax ratio kedua negara berbeda adalah kebijakan perpajakan Indonesia. Dalam hal ini, ia mengambil contoh yang gampang, yakni PTKP.

Saat ini, PTKP Indonesia dianggap cukup tinggi di kawasan Asia dengan nilai 1,3 persen dari PDB. Sementara itu Malaysia memiliki PTKP di angka 0,3 persen dari PDB. 

Semakin tinggi PTKP, maka potensi pemerintah untuk menarik Pajak Penghasilan (PPh) juga kian terbatas. “Jadi ini yang kami sebut sebagai policy gap, yakni kurangnya pengumpulan pajak karena memang pemerintah mendesain seperti itu. Policy gap ini juga mencakup hilangnya potensi pajak demi mendorong ekonomi,” imbuh Yon.

Memang, tax ratio lazim digunakan untuk membandingkan kinerja perpajakan antar negara. Tetapi, tax ratio harus dipahami betul agar tidak mengalami salah persepsi.

Tax ratio ini bukan alat ukur satu-satunya. Membandingkan tax ratio ini tidak semudah yang dibayangkan karena harus memperhatikan banyak faktor,” pungkas dia.

Sebelumnya, angka tax ratio Indonesia memang sering ditonjolkan untuk menunjukkan kinerja perpajakan Indonesia. Pada akhir tahun lalu, Calon Presiden Prabowo Subianto sempat menyebut rasio pajak Indonesia cukup rendah, tidak sebanding dengan Thailand dan Malaysia.

Bahkan, ia juga pernah meminta Indonesia mencontoh Zambia dalam mengerek rasio pajak ke angka 18 persen. “Indonesia kehilangan US$60 miliar karena pemerintah tidak mampu menjaga rasio pajaknya, padahal Indonesia bisa mencapai rasio pajak 18-20 persen,” tutur Prabowo pada November silam.

Sumber: CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only