Perluasan Insentif PPnBM Kendaraan, Akankah Efektif Tekan Emisi Karbon?

Pada 11 Maret lalu, Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati melemparkan rencana perubahan aturan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaaran bermotor. Dalam pertemuan dengan KomisiXI DPR, Sri Mulyani mengatakan prinsip pengenaan PPnBM akan diubah. Semula prinsip pengenaan PPnBM berdasarkan besar kapasitas mesin, jadi makin rendah emisi, makin rendah tarif pajak.

Usulan pengubahan ini juga melingkupi insentif. Saat ini, insentif hanya kepada kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau. Dengan aturan baru insentif juga akan diberikan kepada kendaraan jenis hybrid electric vehicle, plug in HEV, flexy engine dan electric vehicle.

Insentif bagi kendaraan beremisi rendah karbon (low carbon emission vehicle/LCEV) ini akan berkontribusi menurunkan emisi CO2 kendaraan bermotor hingga membantu capaian target National Determined Contribution (NDC) Indonesia 29%, atau 41% dengan bantuan luar pada 2030.

Efektifkah rencana ini? Bagaimana potensi dampak penurunan total penerimaan negara dari PPnBM? Adakah instrumen fiskal lain yang lebih efektif dan tidak membebani penerimaan negara? Mengapa pemerintah tak mengkaji formulasi cukai karbon untuk percepatan penerapan LCEV?

Ahmad Safrudin, Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengatakan, pengecualian atau potongan PPnBM untuk LCEV terutama kategori kendaraan listrik tak signifikan dibanding biaya yang timbul saat memproduksi LCEV.

“Sekalipun dengan pengecualian atau potongan PPnBM namun harga jual tetap tak kompetitif dibanding kendaraan dengan teknologi konvensional,” kata Puput, sapaan akrabnya.

KPBB mengusulkan, perlu ada terobosan pajak karbon sebagai cukai dengan skema tax feebate atau tax rebate. Dengan skema ini, cukai karbon dipungut dari kendaraan yang tak mampu memenuhi standar karbon dan kemudian diberikan sebagai insentif bagi kendaraan rendah karbon sesuai level gram karbondioksida per kilometer (grCO2/km).

“Biarkan pasar yang menilai,” katanya.

Catatan KPBB, pertumbuhan kendaraan bermotor naik dramatis pada 2006-2007, dengan total populasi kendaraan roda dua 89 juta dan roda empat 20 juta. Setiap tahun ada peningatan 1,1 juta kendaraan roda empat dan 7 juta roda dua.

Peningkatan ini praktis berimplikasi pada peningkatan emisi dan penyakit masyarakat seperti infeksi saluran pernapasan akut, asma, bronchitis, pneumonia, jantung koroner dan kanker paru-paru.

Kalau penerapan skema ini, kendaraan dengan grCO2/km melebihi standar, setiap kelebihan akan dikalikan dengan cukai karbon yang dihitung sama dengan harga teknologi untuk menurunkan CO2. Ia harus dibayarkan sebagai cukai karbon dan jadi bagian dari biaya produksi kendaraan.

Begitu juga sebaliknya, bagi kendaraan di bawah standar, setiap penurunan akan dikalikan dengan harga teknologi untuk menurunkan CO2. Hasilnya, diberikan sebagai insentif.

Dengan skema ini, kata Puput, akan ada efek signifikan dalam mendongkrak harga jual kendaraan dengan karbon tinggi.

“Sebaliknya, kendaraan karbon rendah harga jual lebih murah hingga meningkatkan daya saing.”

Permodelan KPBB menunjukkan, kendaraan LCEV akan lebih diminati pasar dan otomatis membuat industri otomotif memproduksinya.

Dalam permodelan, kendaraan teknologi hybrid tertentu punya harga jual Rp636 juta. Ia hampir dua kali lipat harga jual kendaraan mesin konvensional 2000 cc, seharga Rp340 juta.

Kalau kena aturan baru seperti usulan Sri Mulyani dan Kementerian Perindustrian, harga jual kendaraan hybrid menjadi Rp327 juta dan kendaraan setara Rp279 juta.

“Artinya, kendaraan LCEV masih tak mampu bersaing dengan kendaraan konvensional,” katanya.

Kalau berlaku cukai karbon, katanya, harga jual kendaraan hybrid Rp316 juta, konvensional setara Rp488,8 juta. Selain mempengaruhi pasar dan industri otomotif, kebijakan ini akan tetap mengamankan penerimaan negara karena tetap berlaku PPnBM.

Untuk menjaga pertumbuhan produksi lokal, katanya, harus mempertimbangkan jejak karbon dan ditambahkan dalam total karbon yang harus kena cukai.

Kebijakan ini, akan mendorong industri otomotif memproduksi kendaraan lokal agar tak terbebani emisi jejak karbon saat dikirim dari negara lain.

Puput mengatakan, struktur penjualan kendaraan bermotor perlu mengarah ke kendaraan ramah lingkungan. “PPnBM tak efektif mendorong pabrikan mobil memproduksi dan memasarkan LCEV karena tak sensitif dalam menurunkan harga jual LCEV secara siginifikan hingga ini akan gagal mendorong peningkatan market share LCEV.”

Sisi lain, penggunaan bahan bakar dan tingkat emisi tak mencerminkan kemewahan. Makin tinggi emisi, katanya, kecenderungan harga makin murah hingga tak sesuai instrumen PPnBM.

“Karena itu pergeseran instrumen dari PPnBM ke cukai layak dipertimbangkan. Makin tinggi emisi CO2, makin tinggi pula konsumsi BBM yang juga berpengaruh pada beban lingkungan, pengaruh CO2 terhadap perubahan iklim.”

Pertimbangan lain, katanya, penghargaan terhadap inovasi dan teknologi rendah CO2. Kalau skema ini jalan, kata Puput, pada 2030 bisa menurunkan 280 metrik ton CO2 atau setara 59%, jauh melebihi target NDC hanya 41%.

Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) mengatakan, kebijakan PPnBM akan berpengaruh pada penurunan emisi karbon. ”Kita berharap bisa mendorong orang-orang untuk memproduksi dan mengonsumsi alat transportasi lebih ramah lingkungan,” katanya.

Dia bilang, biaya produksi masih terbilang mahal saat ini. Terpenting, katanya, kemajuan teknologi. ”Nanti, lama kelamaan akan mengurangi biaya produksi itu sendiri. Awalnya, tinggi, nanti pasti akan murah. Terutama [kalau] skala sudah massal.”

Sumber: mongabay.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only