Pelaku Bisnis Online Tidak Bebas Pajak

Seputar pajak pelaku e-commerce yang seharusnya berlaku awal bulan ini dibatalkan. Sebelumnya aturan pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik disahkan pada 31 Desember 2018 dan dinyatakan berlaku efektif per 1 April 2019.

Pemerintah membatalkan regulasi tersebut karena dinilai telah menimbulkan kesimpangsiuran hingga terjadi polemik di tengah masyarakat. Meski pemberlakuan aturan pengenaan pajak itu dibatalkan, tidak serta-merta menghilangkan kewajiban pelaku e-commerce untuk membayar pajak. Jadi, tetap harus membayar pajak sesuai aturan yang sudah ada.

Dengan dibatalkannya pemberlakuan PMK tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berharap polemik yang berkembang di masyarakat berhenti dengan sendirinya sehingga tidak muncul lagi berbagai spekulasi seputar regulasi itu. Padahal, dia mengklaim aturan pajak untuk pelaku e-commerce tersebut sebatas mengatur tata cara penarikan pajak yang selama ini berlaku.

Pembatalan pemberlakuan aturan pajak tersebut salah satu bukti bahwa pemerintah terus mendengar suara masyarakat, dunia usaha, sehingga kelak dapat merumuskan kebijakan perpajakan lebih baik lagi. Keputusan pemerintah membatalkan pemberlakuan aturan perpajakan bagi pelaku e-commerce sangat disayangkan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia (CITA) Yustinus Prastowo. Pasalnya, PMK tersebut sudah menjadi aturan resmi dan bermanfaat untuk memberikan penegasan bagi pelaku e-commerce dan petugas di lapangan.

Idealnya, pemberlakuan aturan itu ditunda beberapa bulan ke depan seraya menyiapkan berbagai infrastruktur terkait regulasi pajak yang ada, dan mematangkan beberapa aturan yang dianggap lemah, serta melakukan sosialisasi maksimal atas aturan itu.

Karena itu, Yustinus Prastowo menyatakan alasan pemerintah membatalkan regulasi tersebut sulit diterima. Kalau dicermati lebih jauh, pembatalan PMK tersebut terkesan lebih karena tekanan yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu, tak terkecuali dari asosiasi usaha yang mewadahi pelaku e-commerce yang cenderung menginginkan keadaan status quo. Padahal, aturan itu diadakan untuk menciptakan kesetaraan oleh para wajib pajak.

Namun, ada sisi lain yang bisa dimaklumi Yustinus Prastowo terkait pembatalan aturan itu, yakni regulasi tersebut rawan menimbulkan kegaduhan terkait penggiringan opini yang dapat merugikan di tengah kontestasi politik. Kebijakan perpajakan untuk pelaku e-commerce termasuk isu yang sensitif dan sempat mencuat dalam debat Pilpres 2019.

Keputusan pemerintah membatalkan pemberlakuan aturan pajak bagi bisnis daring direspons positif CEO Tokopedia William Tanuwijaya yang menilai pemerintah telah mendengar masukan dari industri atau pelaku e-commerce. Dia meluruskan bahwa tidak benar anggapan selama ini yang menyatakan pelaku e-commerce tidak membayar pajak.

Semua platform online dan merchant atau pedagang pada platform online sudah membayar pajak. Platform online yang mempekerjakan banyak orang jelas membayar pajak, begitu pula merchant yang bergabung juga disyaratkan membayar pajak. Jadi, keliru kalau selama ada anggapan bahwa pelaku e-commerce tidak membayar pajak.

Terlepas dari urusan perpajakan, potensi pasar e-commerce sangat besar. Apabila pertumbuhan ekonomi stabil, maka diprediksi e-commerce di Indonesia akan bertumbuh menembus USD20 miliar pada 2020, dan menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Prediksi itu dikemukakan oleh Director Consulting Deloitte Southeast Asia Stanley Kyung Sup Song belum lama ini.

Melihat kecenderungan pertumbuhan e-commerce dalam tiga tahun terakhir ini memang sangat membanggakan sekaligus menggemaskan untuk dikenai pajak. Ibarat tanaman, industri e-commerce telah mendapat lahan yang subur di Indonesia dengan pengguna internet terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Industri yang baru bertumbuh ini harus dirawat sebaik-baiknya, jangan sampai terbelit dengan berbagai aturan yang justru kontraproduktif dengan keberadaannya.

Pemerintah sebaiknya membuat iklim e-commerce semakin kondusif sehingga dapat bertumbuh lebih besar. Saat ini pemerintah terkesan begitu terburu-buru untuk memetik buahnya. Biarkan bertumbuh subur dulu baru dipetik buahnya. Jadi, langkah pemerintah membatalkan pemberlakuan regulasi perpajakan bagi pelaku e-commerce sudah tepat. Semoga ini tidak ada hubungannya dengan kontestasi politik untuk Pilpres 2019.

Sumber: Sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only