Perang Tanpa Senjata

Tak ada hujan, tak ada angin, pekan lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendadak mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Aturan ini digadang-gadang bakal mendongkrak banyak penerimaan negara dari transaksi pelaku ekonomi yang selama ini kurang teridentifikasi. Pada akhirnya diharapkan bisa mendongkrak penerimaan sektor perpajakan.

Memang, industri perdagangan daring ini menjadi salah satu sektor usaha yang paling moncer beberapa tahun terakhir. Salah satu lembaga riset memprediksi nilai transaksi e-commerce Indonesia tahun ini bisa mencapai US$ 3,8 miliar atau setara Rp 53 triliun. Tentu satu sektor ini bisa jadi incaran untuk mengejar kepatuhan membayar pajak penghasilan (PPh) para pelaku bisnis. Baik pedagang maupun penyedia pasar atau ecommerce-nya.

Tak hanya PPh, Kementerian Keuangan ingin mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tiap transaksi di-ecommerce tersebut, dengan menugaskan pada pengelola e-commerce untuk mencatatnya. Tentu hasilnya cukup lumayan untuk menambah setoran pajak agar tidak hanya mengandalkan kepada pembayar pajak besar.

Namun lacurnya upaya mudah untuk mendapatkan tambahan setoran pajak ini menuai gejolak. Meskipun tampak diam, pelaku usaha e-commerce maupun pedagang online ogah-ogahan melaksanakannya. Pada tahun politik seperti ini, tentu mendorong para politisi membuat kalkulasi dampak kebijakan yang tidak populis ini terhadap perolehan suara dalam pemilihan umum.

Hasil kalkulasi itu, Menkeu musti mencabut beleid yang baru berumur tiga bulan dan belum pernah berlaku tersebut. Sebab beleid itu baru jalan per 1 April 2019, tapi sudah dicabut dua hari sebelum berlaku.

Saat beban fiskus makin berat untuk mendulang setoran penerimaan negara, kini aparat pajak ibarat dipaksa berperang tanpa dibekali dengan senjata. Atau salah satu tangannya harus diikat dalam peperangan. Mereka harus berjuang mencapai target rasio penerimaan pajak sekitar 12% bahkan 16%.

Setelah pajak tak boleh membuat aturan pungutan pajak bagi pelaku e-commerce, pajak juga dipaksa oleh janji-janji politik untuk memangkas tarif PPh bagi Badan Usaha. Jika sekarang tarif efektif 25% kini didesak turun jadi 17%. Masih banyak diskon pajak untuk stimulus investasi dan pertumbuhan.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only