Rasional Dalam Memberikan Insentif Pajak

Jakarta. Center of Reform on Economics (CORE) mengharapkan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2019 bersikap rasional mengenai janji memberikan insentif pajak karena dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional ke depan. “Bisa terjadi shortfall (kekurangan penerimaan), ketika itu terjadi maka akan ada penyesuaian anggaran,” papar peneliti CORE, Yusuf Rendy Manilet dalam diskusi dengan media di Jakarta, Selasa (9/4).

Bila terjadi “shortfall”, lanjut dia, tentu akan memengaruhi daya belanja pemerintah yang akhirnya dapat berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi nasional ke depan. “Jika diberlakukan tidak boleh dilakukan langsung, namun harus bertahap dan jangan sampai tidak diiringi menggaet sektor pajak yang baru sehingga tidak menghilangkan potensi penerimaan,” katanya.

Ia menambahkan penurunan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak jangka pendek. Yusuf Rendy Manilet mengatakan pemangkasan tarif pajak memang dapat merangsang investor menginvestasikan dananya di Indonesia. Namun, harus lebih diteliti lagi karena dampaknya tidak akan langsung. “Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi salah satunya harus menggenjot manufaktur, Indonesia sudah memberikan insentif pajak ke sektor itu. Namun, sejauh ini belum terdampak, insentif pajak memang tidak bisa berdiri sendiri,” katanya.

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak termasuk PPh migas periode Januari-Februari 2019 mencapai Rp160,8 triliun. Penerimaan itu baru mencapai 10,2 persen dari yang ditargetkan oleh pemerintah. Merujuk pada APBN 2019, sepanjang tahun pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.577,6 triliun dari total pendapatan negara sebanyak Rp2.165,1 triliun.

Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan dalam rangka menarik investor menempatkan dananya di Indonesia, pemerintah juga harus memastikan kemudahan berbisnis, terutama di luar Jawa. “Dengan sistem yang ramah akan mendorong investasi masuk, selama ini investor masih enggan untuk keluar Jawa,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menjelaskan saat ini memang rasio pajak di Indonesia masih rendah, namun pemerintah juga berupaya untuk mengumpulkan pajak dengan insentif-insentif yang diberikan. “Kita mau tunjukkan kalau pemerintah itu tidak hanya mengumpulkan pajak, tapi pemerintah juga memberi insentif pajak dan itu besar,” kata Suahasil.

Dia menyebutkan sejumlah insentif pajak yang diberikan pemerintah mulai dari tax holiday, tax allowance, import duty, tax exemption, import duties by goverment dan import duty exemptions facilities. “Ada juga insentif pajak untuk minyak dan gas (migas) dan local incorporated bank, hingga kawasan berikat,” jelas dia.

Selanjutnya pemerintah mencatat rasio loss pajak tercatat Rp 143,4 triliun pada 2016 dan Rp 154,4 triliun pada 2017. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan negara hingga periode 31 Januari 2019 mencapai 5% terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Angka ini tumbuh 8,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini artinya RI mampu mengumpulkan Rp 89,9 triliun atau 5% dari APBN. Memang sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 11,5%.

Angka tersebut terdiri dari PPh migas sebesar Rp 6,3 triliun atau tumbuh 38,2%. Kemudian pajak non migas Rp 79,7 triliun tumbuh 7%. Pajak non migas terdiri dari PPh Non Migas yang realisasinya mencapai Rp 49,8 triliun tumbuh 19,1%. Kemudian Pajak pertambahan nilai Rp 29,3 triliun minus 9,2%.

Sumber : neraca.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only