Komisaris Tolak Laporan Keuangan Garuda, Pengamat: Wajar

Penolakan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) oleh dua komisaris dianggap sebagai hal yang wajar, apalagi jika ditemukan ada yang tak beres dalam penyajiannya. Sebagai perwakilan pemegang saham keputusan itu dipandang lumrah.

Pengamat dari Institute for Development of Economics (INDEF) Bima Yudhistira Adhinegara menilai keputusan tersebut sebagai hal yang wajar. Dia tidak sependapat jika hal itu dikaitkan dengan hal lain bahkan terkait politik.

“Garuda yang mengalami kerugian kemudian di 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan dan kalau didetilkan itu agak janggal. Kontrak yang belum ada cash-nya tapi sudah diakui sebagai pendapatan, dihitung sebagai laba. Maka wajar bagi komisaris untuk mempertanyakan,” ujarnya saat dihubungi detikFinance, Minggu (28/4/2019).

Menurut Bima, komisaris dengan perannya sebagai pengawas perusahaan tentunya harus mempertanyakan segala hal dibalik urusan keuangan. Dalam hal ini, Bima membenarkan tindakan kedua komisaris itu.

Bima mengatakan, laporan keuangan GIAA janggal karena laba yang diperoleh pada tahun 2018 cukup signifikan. Menurut laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600.

“Kalau menurut saya isu politisnya itu pertama terletak pada signifikansi Garuda yg mengalami kerugian. Kemudian di tahun 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan. Dan kalau dirincikan itu agak janggal,” tutur Bima.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GIAA yang digelar pada 24 Januari 2019, manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal, uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Dalam artian, kontrak yang belum ada pemasukannya sudah diakui sebagai pendapatan atau laba. Oleh karenanya, tindakan komisaris untuk mempertanyakan adalah keputusan yang tepat.

Selain itu, Bima juga menuturkan bahwa keuntungan Garuda Indonesia tersebut tentunya mewajibkan perusahaan itu untuk membayar pajak lebih besar.

“Konsekuensi nya kan Garuda harus membayar pajak lebih mahal. Kalau rugi kan Garuda nggak bayar Pajak penghasilan (Pph). Karena ini untuk Garuda bayar Pph ke negara. Dan setoran dividen Garuda juga ada ke negara,” tambahnya.

Sumber : Detik Finance

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only