Terdampak Isu Lingkungan dan Cukai Kemasan Plastik

Pelaku industri air minum dalam kemasan (AMDK) sempat kaget ketika Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), membatasi pegawainya membawa totol AMDK ke kantor. Bagi pegawainya yang melanggar, Susi mengancamnya dengan denda sebesar Rp 500.000.

Kebijakan yang sempat viral di media sosial tersebut datang setelah Susi menerima kabar kematian seekor ikan paus yang di dalam perutnya terdapat banyak sampah termasuk aneka plastik. Sejak itulah, Susi gencar mengampanyekan pengurangan pemakaian kantong plastik sekali pakai, termasuk di dalam botol AMDK.

Larangan Menteri Susi untuk membatasi pemakaian kantong plastik dan botol AMDK dari plastik di KKP itu sederhana. Pertama, produk plastik bisa mencemari laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Kedua, sampah plastik tersebut sulit terutai ketika masuk ke laut.

Sedendang dengan Menteri Susi, ada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang juga menginstruksikan anak buahnya mengurangi pemakaian botol AMDK. Tak hanya saat berada di kantor, politisi PDI Perjuangan itu juga meminta anak buahnya tidak menggunakan AMDK saat dinas ke luar kota. Alasan Tjahjo juga sama dengan Susi, yakni ada ancaman pencemaran lingkungan karena salah memperlakukan sampah plastik.

Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak aktivis pecinta lingkungan. Selain memberikan imbauan pengurangan sampah plastik termasuk botol AMDK, sebagian mereka juga rutin mengampanyekan bagaimana memperlakukan sampah plastik dan botol AMDK. Terang saja, kampanye lingkungan yang membatasi penggunaan AMDK itu bisa berdampak ke bisnis AMDK.

Namun demikian, Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) bilang, kampanye lingkungan terkait sampah plastik tersebut tidak berpengaruh besar ke bisnis AMDK. Rachmat justru menilai, pernyataan Susi maupun Tjahjo sejatinya adalah pernyataan tentang kesalahan dalam tata kelola sampah plastik, bukan larangan minum AMDK. “Pesannya itu soal pengelolaan sampah, bagaimana memperlakukan botol plastik tidak dibuang secara sembarangan,” kata Rachmat.

Dalam hal pengelolaan sampa plastik termasuk botol plastik, Rachmat menyatakan sependapat dengan Susi. Ia ingin, konsumen AMDK juga bijak mengelola sampah botolnya agar tidak dibuah sembarangan dan mencemari lautan. Apalagi, botol bekas AMDK adalah produk bernilai secara daur ulang. “Botol AMDK itu bernilai karena bisa didaur ulang menjadi aneka produk turunan plastik lainnya,” ungkapnya.

Meski Kampanye pembatasan AMDK untuk lingkungan hidup berlanjut, Rachmat optimis, bisnis AMDK akan tetap tumbuh seiring dengan naiknya kebutuhan air minum. Tak hanya kampanye lingkungan, bisnis AMDK juga dihantui rencana pengenaan cukai untuk kemasan plastik oleh Kementerian Keuangan.

Namun, wacana yang sudah berembus sejak tahun 2016 itu, hingga kini belum juga ketahuan ujung pangkalnya. Kementerian Keuangan berulangkali menyebutkan alasan, cukai plastik bertujuan untuk mengurangi sampah plastik. Namun wacana tersebut justru menuai pro dan kontra. Kementerian Perindustrian, tempat bernaung industri AMDK, justru menolak rencana tersebut. “Karena cukai untuk kemasan plastik itu tidak menyelesaikan akar masalah, justru melahirkan masalah baru,” tegas Rachmat.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only