Kongkalikong Penyelundup Mobil

PENYELUNDUPAN mobil mewah ke negeri ini seperti cerita yang tak pernah tamat. Praktik haram itu selalu berulang, bahkan sampai sekarang. Diusut, digerebek, dan disidik tak menyurutkan nyali para penyelundup. Mereka selalu menemukan sasaran dan modus baru untuk mengelabui penegak hukum.

Kasus terakhir terjadi pada akhir April lalu. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan membongkar penyelundupan mobil luks dengan modus teranyar: memanfaatkan fasilitas impor sementara untuk ajang pameran mobil. Tak tanggung-tanggung, yang diselundupkan itu termasuk mobil seperti Ferrari, Porsche, dan Koenigsegg, yang harga satu unitnya mencapai puluhan miliar rupiah.

Modus penyelundupan ini terendus ketika sebuah supercar Lamborghini berwarna merah tertangkap razia di jalan raya Ibu Kota. Polisi melacak mobil itu semula diimpor PT Kreasi Lancar Orientasi Prima melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, untuk dipertontonkan di sebuah pameran otomotif. Bea dan Cukai kemudian turun tangan memeriksa semua mobil super lain yang diimpor perusahaan itu dan menemukan sebagian besar sudah raib dari gudang.

Para penyelundup menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK-04 Tahun 2017 tentang Impor Sementara sebagai kedok. Berdasarkan peraturan itu, mobil-mobil yang diimpor untuk keperluan pameran dibebaskan dari pajak dan bea masuk yang nilainya bisa mencapai 195 persen dari harga mobil. Importir hanya wajib membayar uang jaminan per bulan sebesar 2 persen dari bea masuk selama jangka waktu berlakunya impor sementara. Setelah maksimal tiga tahun, mobil mewah yang masuk dengan peraturan ini harus diekspor kembali ke negara asalnya.

Nyatanya, setelah selesai pameran, mobil-mobil mewah itu dijual dan kini berseliweran di berbagai kota besar di Indonesia dengan surat kendaraan yang diputihkan secara ilegal. Sementara itu, mobil yang diekspor kembali ke negara asalnya setelah tiga tahun rata-rata sudah disewakan. Padahal mobil yang diimpor dengan aturan ini seharusnya tak boleh meninggalkan showroom sama sekali.

Menteri Keuangan Sri Mulyani tentu tak boleh tinggal diam. Dengan penerimaan pajak tahun lalu yang gagal mencapai target, dia berkepentingan menutup semua celah yang dimanfaatkan penyelundup. Pertama, aturan jangka waktu impor sementara harus dipangkas. Kedua, jangan ada ampun untuk mereka yang melanggar. Sanksi harus diperberat bahkan sampai pencabutan izin impor.

Di luar respons normatif itu, Menteri Sri Mulyani juga harus memastikan jajaran Bea dan Cukai bersih dari praktik kongkalikong dengan penyelundup. Sudah bukan rahasia kalau kisah-kisah penyelundupan ini bisa terus berulang karena melibatkan “orang dalam”. Penyelidikan internal yang menyeluruh perlu dilakukan agar tikus-tikus koruptor tak berlindung di dalam institusi pemerintah sendiri.

Untuk itu, polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus digandeng. Kerja mereka juga harus transparan dan akuntabel. Tak jelasnya penanganan kasus gratifikasi yang diduga melibatkan Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Timur II Ahmad Dedi tak boleh terjadi lagi.

Hanya dengan cara itu Kementerian Keuangan bisa memastikan tak ada lagi penerimaan negara dari setoran pajak dan bea masuk yang bocor akibat penyelundupan. Tanpa upaya bersih-bersih internal, penerimaan bea-cukai yang ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 sebesar Rp 208,8 triliun bisa meleset dari target.

Sumber : TEMPO.CO

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only