Jakarta. Pemerintah memangkas pajak besar-besaran di beberapa sektor usaha. Salah satunya menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk infrastruktur dari 15% menjadi 5%. Langkah itu demi menggenjot penggalangan dana masyarakat lebih banyak lagi untuk mendanai proyek infrastruktur.
Di lain sisi, perbankan juga membutuhkan dana pihak ketika (DPK) untuk mendanai penyaluran kredit. Dalam kondisi ini, berpotensi terjadi perebutan dana di pasar. Namun, bankir tidak khawatir.
Pemangkasan pajak bunga obligasi untuk infrastruktur itu tidak akan menjadikan dana masyarakat beralih ke kantong pemerintah. Bankir tidak melihat akan ada perebutan dana di masyarakat.
Tapi, kenyataannya, pertumbuhan DPK di perbankan dalam tren turun sepanjang 2019 ini. Bank Indonesia (BI) mencatat, pertumbuhan DPK pada April 2019 cuma sebesar 6,6% secara year on year (yoy) menjadi Rp 5.455,9 triliun. Sementara pada Maret 2019, DPK masih tumbuh sebesar 7,2% secara yoy menjadi Rp 5.457 triliun.
Presiden Direktur Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja berpendapat, sejatinya, sifat produk obligasi berbeda dengan DPK seperti deposito yang dikumpulkan oleh perbankan. Sehingga, pada akhirnya tak ada perebutan dana ketika pemerintah memangkas tarif PPh bunga obligasi untuk sektor infrastruktur.
Jahja menjelaskan, jangka waktu investasi instrumen obligasi lebih panjang. Sementara instrumen deposito kadang bisa disimpan selama tiga bulan, karena masyarakat memiliki dana berlebihan dalam jangka pendek.
Nah, tipe nasabah yang seperti itu tidak cocok untuk beli obligasi. “Pada akhirnya, memang masyarakat menempatkan dana harus sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing,” katanya saat ditemui KONTAN pekan lalu.
Hingga April 2019 lalu, penghimpunan DPK bank swasta terbesar di Indonesia ini telah mencapai Rp 637,89 triliun dengan komposisi dana murah sekitar 76,85%. DPK tersebut meningkat 8,32% secara yoy jika dibandingkan posisi Desember 2018, dengan komposisi dana murah sebesar 77,54%. Sementara hingga akhir tahun ini, Jahja menargetkan pertumbuhan DPK BCA bisa mencapai 7% sampai 8%.
Presiden Direktur Bank Mayapada Hariyono Tjahrijadi juga berpendapat senada. Menurutnya, obligasi dan deposito sejatinya memiliki pasar yang berbeda. “Mungkin memang ada pengaruh, tapi obligasi dan deposito memiliki pasar masing-masing,” katanya kepada KONTAN.
Sifat instrumen obligasi dan deposito berbeda sehingga memilik pasar masing-masing.
Hingga Mei 2019 lalu, penghimpunan DPK Bank Mayapada telah mencapai angka Rp 72,81 triliun dengan komposisi dana murah sebesar 25,53%. Pencapaian tersebut meningkat 7,72% secara yoy dibandingkan DPK pada Mei 2018 yang senilai Rp 67,58 triliun dengan dana murah sebesar 21,52%.
Sedangkan hingga akhir tahun ini, Bank Mayapada menargetkan pertumbuhan DPK akan berada di kisaran 9% hingga 10%.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply