Indonesia Mulai Susun Aksi Unilateral Pajak Digital, Mengapa Tidak?

“Perlu adanya quick response karena model bisnis digital ini berubah dengan cepat. Tidak ada salahnya men-draft regulasi mulai dari sekarang. Jadi regulasi langsung bisa dijalankan ketika konsensus global belum bisa berjalan,” jelasnya.

Dalam diskusi bertajuk ‘Aspek Perpajakan atas Transaksi Ekonomi Digital’ ini, Bawono menjelaskan proposal yang diajukan terkait pemajakan ekonomi digital yang terdiri dari dua pilar. Kedua pilar tersebut masih menjadi pembahasan yang alot.

Salah satu aspek yang diperdebatkan adalah metode dalam mengalokasikan hak pemajakan. Perdebatan panjang masih terus berlangsung terkait tiga pilihan membagi hak pemajakan apakah lewat user participation, market intangibles, atau sufficient economic presence.

Masih belum pastinya pencapaian konsensus telah membuat banyak negara menempuh jalan pintas dengan aksi unilateral untuk memajaki transaksi ekonomi digital. Beban pajak dan tarifnya juga bermacam-macam mulai dari 2% hingga 13%.

Baru-baru ini Prancis memperkenalkan digital service tax (DST) berupa PPh final dengan tarif 3%. Uni Eropa melalui komisinya juga sudah membuat proposal yang ditujukan untuk transaksi yang dilakukan pada ranah digital. Tarif pajak dipatok pada angka 3% yang berlaku untuk iklan digital dan jasa atas penggunaan data.

“Jadi ada sikap frustasi negara-negara karena tidak ada konsensus global di 2020. Mereka pandang itu terlalu lama dan akhirnya buat aksi unilateral yang tidak dalam koordinasi global. Pajak final seperti DST Prancis sepertinya mudah dan tambah penerimaan negara,” paparnya.

Meskipun sederhana, ada kemungkinan model pemajakan tersebut juga akan merugikan pengguna jasa digital. Beban pajak final tersebut bisa jadi justru dialihkan kepada konsumen. Akibatnya, dapat terjadi welfare loss.

Oleh karena itu, kalaupun ada aksi unilateral, dia tetap meminta pemerintah mempertimbangkannya secara matang. Perlindungan terhadap bisnis start-up juga perlu dikedepankan, misalkan melalui threshold berdasarkan pendapatan entitas bisnis digital.

“Perlu adanya quick response karena model bisnis digital ini berubah dengan cepat. Tidak ada salahnya men-draft regulasi mulai dari sekarang. Jadi regulasi langsung bisa dijalankan ketika konsensus global belum bisa berjalan,” jelasnya.

Dalam diskusi bertajuk ‘Aspek Perpajakan atas Transaksi Ekonomi Digital’ ini, Bawono menjelaskan proposal yang diajukan terkait pemajakan ekonomi digital yang terdiri dari dua pilar. Kedua pilar tersebut masih menjadi pembahasan yang alot.

Salah satu aspek yang diperdebatkan adalah metode dalam mengalokasikan hak pemajakan. Perdebatan panjang masih terus berlangsung terkait tiga pilihan membagi hak pemajakan apakah lewat user participationmarket intangibles, atau sufficient economic presence.

Masih belum pastinya pencapaian konsensus telah membuat banyak negara menempuh jalan pintas dengan aksi unilateral untuk memajaki transaksi ekonomi digital. Beban pajak dan tarifnya juga bermacam-macam mulai dari 2% hingga 13%.

Baru-baru ini Prancis memperkenalkan digital service tax (DST) berupa PPh final dengan tarif 3%. Uni Eropa melalui komisinya juga sudah membuat proposal yang ditujukan untuk transaksi yang dilakukan pada ranah digital. Tarif pajak dipatok pada angka 3% yang berlaku untuk iklan digital dan jasa atas penggunaan data.

“Jadi ada sikap frustasi negara-negara karena tidak ada konsensus global di 2020. Mereka pandang itu terlalu lama dan akhirnya buat aksi unilateral yang tidak dalam koordinasi global. Pajak final seperti DST Prancis sepertinya mudah dan tambah penerimaan negara,” paparnya.

Meskipun sederhana, ada kemungkinan model pemajakan tersebut juga akan merugikan pengguna jasa digital. Beban pajak final tersebut bisa jadi justru dialihkan kepada konsumen. Akibatnya, dapat terjadi welfare loss.

Oleh karena itu, kalaupun ada aksi unilateral, dia tetap meminta pemerintah mempertimbangkannya secara matang. Perlindungan terhadap bisnis start-up juga perlu dikedepankan, misalkan melalui threshold berdasarkan pendapatan entitas bisnis digital.

Sumber : ddtcnews.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only