Perjakin Dukung Kadin yang Minta Surat Ketetapan Pajak Ditangani Aparat Pajak

PONTIANAK, Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN) mendukung penuh pendapat dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) yang menyatakan agar penanganan keberatan wajib pajak terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus atau aparat pajak dilakukan di luar Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Kami sangat sependapat dengan KADIN, karena tidak masuk akal jika pemeriksaan pajak dilakukan oleh fiskus, tetapi hak keberatan Wajib Pajak (WP) terhadap hasil pemeriksaan fiskus itu yang tertuang dalam produk hukum SKP juga harus diajukan ke DJP.

Jelas pasti ada benturan kepentingan atau conflict of interest, karena itu tidak mungkin ada jaminan perlakuan yang fair, jujur dan adil bagi WP,” ungkap Ketua PERJAKIN, Petrus Loyani, senin (2/9).

Lanjutnya ia mengatakan, secara teknis yuridis, lembaga keberatan merupakan upaya hukum gugatan tingkat pertama baik dilihat dari sudut hukum administrasi maupun hukum perdata. Yang dalam hukum acara Tata Usaha Negara (TUN) atau hukum acara perdata menjadi domain lembaga peradilan tingkat pertama, sehigga sudah bukan domain eksekutif, melainkan domain yudikatif atau kekuasaan kehakiman, namun anomali UU Pajak memberi kewenangan “mengadili” keberatan WP kepada kekuasaan eksekutif di DJP.

“Karena itu perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Pajak langsung banding, padahal banding itu adalah upaya hukum tingkat kedua. Dengan kata lain dengan diambilnya kewenangan mengadili keberatan oleh DJP, maka DJP adalah organ eksekutif yang sudah melakukan fungsi yudikatif, ini jelas tidak proposional jika dilihat dari pembagian kekuasaan menurut UUD 45 alias inkonstitusional,” jelasnya.

Menurutnya, yang jadi permasalahan adalah UU KUP dan UU Pengadilan Pajak yang telah mengatur prosedur keberatan tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan perubahan pada UU untuk mengembalikan hukum acara pada proporsi yang seharusnya agar disatu sisi Negara tidak melakukan penyimpangan hukum dan disisi lain WP tidak dirugikan oleh unfairness dan injustice DJP.

“Sebelum adanya perubahan dua UU itu, langkah transisi untuk menangani keberatan bisa dikeluarkan Kepres dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) agar penanganan keberatan dalam DJP tidak dilakukan sendiri oleh fiskus, tetapi ditambah dengan unsur WP atau Pengacara Pajaknya dan pihak ketiga yang independen.

Katakanlah pihak asosiasi usaha, pembayar pajak atau akademisi, sehingga sementara ini lembaga keberatan ditangani secara arbitrase tripartit. Dengan demikian dapat mengurangi conflict of interest dan unfair treatment tergadap WP,” jelasnya lagi.

Selain itu, Petrus menyebutkan utusan dari arbitrase tripartit dengan keberatan tersebut tidak final dan binding, tetapi tetap terbuka untuk dibanding ke Pengadilan Pajak.

“Mengapa proses penanganan keberatan harus dilakukan seobyektif mungkin? Karena UU Pajak d.h.i UU KUP sudah menetapkan sistem pemungutan pajak Indonesia adalah self assessment, bukan official assessment. Padahal produk hukum SKP jelas menggunakan official assessment versi fiskus. Kan itu bertentangan dengan sistem self assessment yang ditentukan UU.

Penghakiman atas kesalahan substantif dan material dalam isi dan laporan SPT yang diduga dilakukan oleh WP tidak boleh dilakukan sepihak saja oleh fiskus karena akan cenderung sewenang wenang, tetapi harus lewat mekanisme fair trial atau due process of law. Maka bagi WP yang merasa perlu advokasi pajak dapat hubungi kami,” pungkasnya.

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only