Asosiasi Industri Kakao Minta Pemerintah Revisi Tarif Bea Masuk

Jakarta. Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman mendorong pemerintah untuk merevisi kebijakan tarif bea masuk untuk impor biji kakao dan produk olahan kakao. Menurut Piter, kebijakan saat ini menghambat pertumbuhan industri olahan kakao karena pemerintah masih mengenakan bea masuk impor biji kakao sebesar 5 persen, pajak penghasilan (PPh) 2,5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen.

“Kami minta pemerintah merevisi tarif bea masuk tarif impor biji kakao supaya industri olahan berdaya saing. Kami mengusulkan untuk PPN dan bea masuk diturunkan untuk kebutuhan industry setidaknya menjadi 1 persen,” ujar Piter, Rabu 4 September 2019.

Produk olahan kakao dalam negeri semakin tidak bersaing karena negara kompetitor, seperti di Malaysia dan Singapura, yang tidak menerapkan bea masuk impor biji kakao. Besarnya bea masuk impor biji kakao ini justru berkebalikan dengan kebijakan bea masuk impor produk olahan kakao sebesar nol persen setelah adanya perjanjian dagang Asean Free Trade Area (AFTA). Hal ini berdampak pada kenaikan impor produk olahan kakao yang mencapai 271.775 ton atau naik 25 persen pada 2018 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Sangat disayangkan karena lahan Indonesia sangat cocok ditanami kakao. Kalau produktivitas tidak ditingkatkan, industri yang sudah ada saat ini akan direlokasi ke negara yang memiliki bahan baku mencukupi,” ujar Piter.

Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Dwi Atmoko Setiono menuturkan dari 20 industri kakao yang ada, saat ini hanya 11 unit yang beroperasi. Pada saat ini, kata Dwi, industri pengolahan kakao nasional memang berkembang pesat dengan kapasitas 747 ribu ton. Namun, kapasitas terpakai atau utilisasinya hanya 59 perse. Hal ini dikarenakan produksi kakao nasional menurun. “Industri kekurangan bagan baku baji kakao, akibatnya impor biji kakao meningkat,” ujar Dwi.

Produktivitas tanaman kakao yang masih rendah masih jauh di bawah rata-rata potensi sebesar 2 ribu kilogram per hektare per tahun. Dwi menuturkan rendahnya produktivitas dan produksi kakao disebabkan oleh sebagian tanaman yang sudah tua atau tidak produktif, serangan hama penyakit utamanya PBK dan VSD, kurang pemeliharaan oleh petani dan perubahan iklim serta degradasi kesuburan tanah. “Perlu ada upaya percepatan peningatan produksi melalui intensifikasi, rehablitasi, dan peremajaan perkebunan kakao,” ujar Dwi.

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only