Di Tengah Ancaman Resesi Global, RI Tumbuh 5,3% Realistis

JAKARTA – Perekonomian 2019 banyak di pengaruhi faktor domestik dan global. Hal ini juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan APBN tahun 2020. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan tahun ini domestik dan global menghadapi perekonomian yang bergejolak.

Kecenderungannya ke arah pelemahan. Sehingga berbagai macam risiko kondisi global perlu diwaspadai. Selain perang dagang AS dan China, hal lain yang perlu diperhatikan yakni, krisis di Argentina, ketegangan Jepang dan Korea Selatan, serta Demo Hong Kong yang tak kunjung selesai.

“Ada juga kesulitan lukuiditas di pasar AS yang kurang menggembirakan. Sektor Riil, IMF selalu membuat prediksi perekonomian dunia setiap tiga bulan. Tapi itu dipangkas terus. Kita ingin menggambarkan global ini kurang menggembirakan,” ungkapnya Minggu (29/9/2019).

Bagaimana Indonesia bertahan di tengah kondisi ini? APBN adalah arah kebijakan pemerintah, dinamis dan statis. Bagaimana APBN mencapai tujuan, mendapatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, pertumbuhan berkualitas, mengurangi kemiskinan, ketimpangan.

“Kita ingin menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran di tengah kondisi ini bagaimana merancang APBN tetap memperhatikan eksternal manuver sehingga bisa mencapai tujuan,” imbuhnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 yakni 5,2 persen, Indonesia akan ada di 5,1 persen. Bagaimana mencapai 5,3 persen di 2020? Melihat tahun ini, ada yang optimis, pesimis, dan tengah-tengah. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu 5,17 persen, Kuartal II tahun ini 5,05 persen.

“Indonesia masih resilience. Ada pemilu, tekanan global. 2020 tahun pertama pemerintahan Jokowi, diharapkan stabil. berharap saat ini fokus investasi. Infrastruktur 5 tahun agresif, akan mulai terlihat. Berharap 2020 melanjutkan momentum pertumbuhan. Ngga besar kok, 5,3 persen angka yang realistis,” ungkapnya.

Tidak hanya mengejar pertumbuhan, namun juga stabilitas harga. Purchasing power menurutnya penting bagi masyarakat. Ada di satu masa inflasi dua digit. Lima tahun lalu di atas 5 persen. Sekarang diupayakan di 3 persen.

“Tahun depan 3,1 persen. Kombinasi pertumbuhan 5,3 persen, inflasi 3 persen itu kondisi yang kondusif,” terangnya.

Kemudian, menanggapi defisit yang lebar menurutnya APBN bisa menjadi alat. Ada penerimaan dan belanja. Ada yang disebut countercyclical, ketika ekonomi melemah, tertekan yang terpukul adalah pajak penerimaan. Jika penerimaan turun, akan diseimbangkan dengan budget, berarti belanja turun, sehingga kita akan memasuki masa resesi.

“Kalau kita melakukan apa-apa, dengan sendirinya ekonomi akan melalui countercyclical nah tapi dalam mengatasi itu bisa mengatasi sesuatu. Bisa memotong rantai tersebut,” terangnya.

Ketika ada pertumbuhan ekonomi, pajak turun, kita bisa memberikan stimulus, misalnya pembangunan. Hal tersebut akan menimbulkan multiplier effect, menumbuhkan tenaga kerja, pembangun infrastrutkur, basisnya belanja, defisitnya membesar. Tidak menjadi masalah karena ekonominya bergerak. Penerimaan pajak naik kembali, perekonomian tumbuh kembali. Dalam hal ini APBN menjadi alat.

“Tahun 2015 pertumbuahan hanya 4,9 persen, defisit 2,6 persen dari PDB. mulai membaik, defisit mulai dikurangi. 2020 defisit akan dirancang 1,76 persen dari PDB itu terkecil dari 5 tahun terakhir. Tekanan global besar lagi, mulai berdampak pertumbuhan lebih besar. Pemerintah bisa memberikan stimulus,” paparnya.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only