Relaksasi Uang Muka Mengerek Bisnis Properti

Relaksasi aturan uang muka dan insentif PPnBM mendorong penjualan properti

Jakarta, beragam insentif terus mengalir dan menyokong bisnis properti. Setelah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate menjadi 5,25% bank sentral melonggarkan aturan loan to value (LTV) dan finance to value (FTV) untuk kredit kepemilikian properti baik rumah tapak, rumah tinggal maupun rumah kantor dan rumah toko.

Melalui guyuran relaksasi tersebut, maka beban para debitur untuk membayar uang muka atau down payment (DP) atas kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kedit kepemilikan apartemen (KPA) maupun properti lainnya bakal menyusut.

“Dengan suku bunga acuan yang rendah dan pelonggaran LTV, kami mengharapkan hal tersebut bisa mendorong pertumbuhan KPR di segmen-segmen tertentu,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung, Jumat (20/9).

Dia menjelaskan, relaksasi terkait uang muka bisa picu permintaan KPR yang lebih tinggi, meski pendapatan masyarakat tetap. Sayang, BI belum memiliki angka yang pasti terkait dengan target pertumbuhan KPR. “Tapi dengan adanya relaksasi ini, kami mengharapkan pertumbuhan kredit di kisaran 10%-12%,” ujar Juda.

Pengembangan properti PT Ciputra Development Tbk, menyambut baik kebijakan pelonggaran LTV kredit properti. Relaksasi tersebut diyakini dapat mendongkrak penjualan properti.

Head of Investor Relations & Corporate Finance PT Ciputra Development Tbk, Aditya Ciputra Sastrawinata, mengakui dampak penurunan uang muka akan mempengaruhi pasar properti. “Karena kedala utama pembeli rumah adalah ketidakmampuan untuk membayar DP,” ujar dia.

Dengan penurunan uang muka tersebut, manajemen Ciputra Development optimistis akan membantu pembeli rumah pertama untuk menjangkau pembayaran uang muka. Wajar saja, hal tersebut lantaran mayoritas pembelian produk Ciputra dilakukan lewat skema KPR.

Aditya menggambarkan, sepanjang semester pertama tahun ini, dari perolehan marketing sales Ciputra Development yang sebesar Rp 2,4 triliun, sebesar 48% menggunakan skema KPR. Sedangkan untuk tunai bertahap sebesar 31%, dan tunai keras 21%. “Dari sana, produk dengan harga Rp 1,5 miliar ke bawah yang paling banyak diburu konsumen,” sebut Aditya.

Insentif pajak

Sedangkan manajeman PT Metropolitan Kentjana Tbk yang menganggap relaksasi LTV untuk pembiayaan properti sebesar 5% tidak akan berimbas banyak terhadap penjualan perusahaan. Pasalnya, saat ini segmen pasar yang dibidik perusahaan bersandi MKPI ini adalah kelas menengah atas.

“Saat ini, pelanggan kami adalah segmen menengah ke atas yang melakukan pembelian secara tunai maupun mencicil ke developer,” ungkap Herman Widjaja, Direktur MKPI.

Menurut dia, penurunan uang muka tersebut tidak akan berimbas besar terhadap bisnis MKPI. “Sebagian konsumen yang mengajukan KPR dan KPA pun umumnya sudah mempunyai cukup DP 20% dan 30%. Di beberapa proyek kami, dampak pasca pilpres dan keputusan final pilpres oleh MK malah lebih terasa,” papar Herman.

Di sisi lain, pengembang besar dengan portofolio proyek properti mewah sangat terbantu insentif fiskal berupa pengurangan pajak yang bergulir beberapa waktu lalu. Beleid yang dimaksud adalah aturan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 86 Tahun 2019.

Dalam ketentuan tersebut, kelompok hunian mewah seperti rumah, apartemen, kondominium, town house dan lainnya dengan harga jual dibawah Rp 30 miliar tidak dikenakan PPnBM sebesar 20%. “Terkait kebijakan PPnBM, maka penjualan produk di Pondok Indah terdongkrak sedikit,” ungkap Herman.

Namun, dia menambahkan, dengan permintaan yang masih sama dengan tahun lalu, maka imbas terhadap total penjualan tidak akan terlalu besar. Sebagian besar produk MKPI tidak terkena PPnBM. Hanya penthouse yang dulu terkena PPnBM 20% dan saat ini sudah tidak dikenai.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only