Optimalisasi Penerimaan Negara dari Cukai Rokok

Pada semester I 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 28,7 triliun. Jumlah ini lebih besar ketimbang tahun 2018, yaitu Rp 500 miliar.

Prestasi ini tak lepas dari langkah KPK yang memperluas fokus pemberantasan korupsi, termasuk pada sisi penerimaan negara (revenue).

Pencegahan korupsi pada sisi penerimaan negara menjadi penting karena berdampak pada penerimaan negara serta kualitas pelayanan publik.

Berdasarkan data Litbang KPK, pengelolaan keuangan negara yang dijalankan secara benar dan transparan mampu meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 4.000 triliun setiap tahun.

Faktanya, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa realisiasi pendapatan negara pada 2018 “hanya” mencapai Rp 1.942,3 triliun atau sekitar setengah dari potensi sesungguhnya.

Oleh karenanya, langkah pencegahan korupsi dengan memperluas fokus penerimaan negara oleh KPK sudah selayaknya mendapat dukungan dari banyak pihak.

KPK dituntut untuk senantiasa jeli melihat potensi-potensi kebocoran dari penerimaan negara yang masih berlangsung hingga saat ini.

Salah satu sumber penerimaan negara yang layak menjadi perhatian KPK adalah penerimaan yang berasal dari cukai hasil tembakau atau lebih dikenal dengan cukai rokok.

Cukai rokok memberikan kontribusi cukup siginifikan terhadap penerimaan negara, yaitu sekitar 10 persen dari seluruh penerimaan negara.

Pada 2019, pemerintah mematok target penerimaan dari cukai rokok sebesar Rp 158 triliun dan tahun 2020 sebanyak Rp 173 triliun.

Pada 2018, KPK sesungguhnya mulai melihat potensi hilangnya penerimaan negara dari cukai rokok.

Hasil kajian KPK tentang optimalisasi penerimaan negara di kawasan perdagangan bebas di Batam menemukan bahwa kebijakan insentif rokok di kawasan tersebut menyebabkan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai atas 2,5 miliar batang rokok sebesar Rp 945 miliar.

Dari temuan tersebut, pada Februari 2019, KPK mengirimkan rekomendasi agar pemerintah mencabut insentif fiskal terhadap rokok di Kawasan Perdagangan Bebas Batam.

Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti pada 17 Mei 2019 oleh Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan dengan mencabut insentif tersebut dan memberlakukan kebijakan cukai rokok di seluruh kawasan perdagangan bebas.

Keberhasilan mencegah hilangnya penerimaan negara dari cukai rokok, seperti terjadi di kawasan perdagangan bebas Batam, layak mendapat apresiasi.

Agar lebih optimal, KPK selanjutnya dapat menelisik sejumlah kebijakan cukai rokok yang berpotensi menyebabkan penerimaan negara menjadi tidak optimal.

Celah aturan cukai dan hilangnya penerimaan negara
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen serta harga jual eceran minimum rata-rata 35 persen pada tahun 2020.

Kenaikan ini patut diapresiasi, mengingat tujuan pengenaan cukai ialah untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia dan melindungi kesehatan masyarakat.

Kenaikan cukai rokok juga dianggap akan menambah penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah untuk menunjang pembangunan yang sedang gencar dilaksanakan.

Terlepas dari kontroversi antara pihak yang mendukung dan menentang kenaikan cukai rokok tahun depan ini, ada satu masalah yang belum diselesaikan, yaitu aturan cukai rokok yang kompleks dan ketinggalan zaman, sehingga menimbulkan banyak celah.

Akibat dari celah tersebut, kenaikan cukai pada 2020 tidak akan optimal dalam mengurangi konsumsi rokok maupun tidak mampu mencegah hilangnya potensi penerimaan negara.

Pertama, peraturan cukai saat ini masih memperbolehkan diskon rokok semurah mungkin, selama produk tersebut tidak dijual di lebih dari 40 kota. Celah ini memungkinkan rokok dijual dengan harga di bawah harga jual eceran yang sudah diatur.

Seharusnya, batasan harga rokok terendah hanya bisa dijual sebesar 15 persen di bawah harga banderol yang tertera di kemasan rokok.

Hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kenyataannya, masih banyak rokok yang dijual jauh lebih murah dari batasan yang sudah diatur tersebut.

Coba bayangkan, seorang bos perusahaan rokok duduk manis di kantornya sambil memilih 40 kota mana yang bisa jadi target menjual rokok dengan harga semurah mungkin.

Berdasarkan hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kebijakan diskon rokok ini telah menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak penghasilan (PPh) badan sebesar Rp 1,73 triliun.

Celah ini tidak saja merugikan penerimaan negara, namun juga berdampak pada makin banyaknya rokok murah yang bisa dijangkau oleh masyarakat dan anak-anak.

Kedua, ada celah lain dalam sistem cukai rokok yang membedakan besaran tarif cukai berdasarkan jumlah produksi perusahaan.

Celah ini memberikan ruang bagi perusahaan besar untuk membayar cukai rokok mesin golongan 2 atau golongan tarif cukai murah, padahal memiliki omset triliunan rupiah dan penjualan miliaran batang rokok per tahun.

Golongan 2 ini sebenarnya diperuntukkan bagi perusahaan rokok kecil dan menengah karena tarifnya yang jauh lebih rendah dibandingkan golongan 1.

Namun sayangnya, itikad baik pemerintah dimanfaatkan oleh konglomerasi rokok global. Dengan celah aturan tersebut, mereka bisa membayar cukai rokok buatan mesinnya dengan tarif murah.

Bahkan, tarif cukai yang dimanfaatkan konglomerasi rokok global tersebut setara dengan tarif cukai rokok kretek tangan, yang menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan warisan budaya Indonesia.

Berdasarkan data Indonesia Budget Center, celah dalam aturan cukai rokok ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun pada tahun 2019.

Jumlah ini diperkirakan naik hingga mencapai Rp 15,65 triliun pada tahun 2020.

Ketiga, perusahaan rokok besar sangat cerdik. Dalam aturan saat ini, besaran tarif cukai yang wajib dibayar ditentukan oleh jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun.

Semakin besar jumlah produksinya, maka semakin tinggi tarif cukai yang harus dibayar.

Jika produksi rokok mesin perusahaan telah mencapai 3 miliar batang atau lebih dan produksi rokok buatan tangan telah mencapai 2 miliar batang atau lebih, perusahaan tersebut wajib membayar tarif cukai paling mahal.

Jumlah produksi dihitung dari akumulasi dalam satu perusahaan, ataupun perusahaan lain yang terkait maupun berada dalam satu grup dengan perusahaan tersebut.

Namun, kenyataan di lapangan, banyak sekali perusahaan besar yang mendirikan perusahaan kecil mandiri, yang seolah-olah tidak terkait atau tidak terafiliasi dengan perusahaan besar tersebut.

Padahal, jika seluruh jumlah produksi diakumulasikan, bisa dipastikan mereka harus membayar tarif cukai tertinggi untuk semua rokok yang diproduksinya.

Perusahaan-perusahaan ini sering disebut sebagai “anak perusahaan” atau “perusahaan dengan hubungan keterkaitan” dan dapat memperoleh manfaat dari tarif cukai yang sangat rendah.

Hal ini bisa terjadi karena Kementerian Keuangan tidak dapat menjalankan aturan cukai secara optimal mengenai hubungan keterkaitan dengan perusahaan rokok besar.

Secara historis, ketika pemerintah mengejar kenaikan cukai yang tinggi, perusahaan “kecil” semacam ini muncul dan mulai menjual rokok murah seakan-akan diproduksi perusahaan rokok kecil.

Ini adalah cara perusahaan rokok besar untuk menghindari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi.

Keempat, sistem cukai rokok di Indonesia terlalu kompleks. Sistem ini memiliki sepuluh layer dengan sepuluh tarif cukai yang berbeda, serta sepuluh harga jual eceran minimum yang juga berbeda

Kompleksitas aturan cukai selalu menjadi petaka dan menciptakan kesempatan untuk disalahgunakan, di mana menimbulkan celah yang dimanfaatkan perusahaan rokok untuk membayar tarif cukai yang jauh lebih rendah dari seharusnya.

Menteri Keuangan sesungguhnya mengetahui adanya celah-celah dalam aturan cukai rokok. Bahkan, upaya perbaikan telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan pada tahun 2017.

Namun sayangnya, perbaikan aturan tersebut dibatalkan sepihak tanpa ada penjelasan.

Pertanyaannya, mengapa Sri Mulyani tidak menutup celah dalam aturan cukai rokok? Padahal, hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah karena aturan tersebut telah ditetapkan pada tahun 2017.

Pada akhirnya, sebuah kebijakan yang baik seharusnya tidak memberi kesempatan penyalahgunaan dan mampu memberikan hasil yang optimal, dalam hal ini bagi aspek penerimaan negara serta menurunkan angka perokok di Indonesia.

Sumber : Kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only