Perang dagang AS-Eropa, sumber risiko baru bagi pertumbuhan Indonesia

JAKARTA. Babak baru perang dagang kembali dimulai antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Jika terus memanas, ketegangan dagang kedua negara ini menjadi risiko baru yang makin membebani laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Setelah produk baja, Presiden AS Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 10% pada pesawat Airbus dan tarif 25% pada produk asal Eropa seperti wine Prancis, wiski, keju, dan lainnya dengan nilai sebesar US$ 7,5 miliar pada produk ekspor negeri Benua Biru tersebut. Rencana ini bahkan direstui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kasus pemberian subsidi ilegal pemerintah UE terhadap maskapai Airbus.

Jika terjadi, prediksinya pemerintah UE akan membalas pengenaan tarif tersebut. Risiko perang dagang yang lebih besar antara AS dan UE pun semakin nyata dan mengancam pertumbuhan ekonomi dunia yang sudah diperkirakan lesu hingga 2020.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih terbilang resilien lantaran berada di kisaran 5% hingga semester pertama 2019.

“Tapi risiko tekanan ke bawah atau downside risk juga masih sangat besar,” ujar Sugeng, Senin (7/10).

Ini sejalan dengan prospek perekonomian dunia dan negara-negara besar lain di dunia. Dampak perang dagang antara AS dan China yang masih bergulir sampai sekarang semakin nyata menekan pertumbuhan.

Indonesia sendiri mengalami pukulan telak dari sisi ekspor seiring dengan menurunnya permintaan dan melemahnya harga-harga komoditas andalan. Pertumbuhan net ekspor pada semester I-2019 negatif 7,04% secara year-on-year (yoy). Indeks harga komoditas ekspor secara year-to-date (ytd) per 2 September lalu turun 3,4%.

Perang dagang AS dan UE pun berpotensi menekan neraca dagang Indonesia ke depan. Selama periode Januari-Agustus 2019, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke Eropa saja sudah turun 17% yoy atau senilai US$ 9,58 miliar. Sementara impor barang nonmigas dari Eropa juga turun 13,75% dengan nilai US$ 8,27 miliar pada periode tersebut.

Dari sisi moneter, Sugeng mengatakan, BI telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan untuk mengantisipasi tekanan pada ekonomi domestik. Termasuk menurunkan suku bunga acuan secara agresif hingga 75 basis poin (bps) dalam kurun tiga bulan terakhir.

“Sekarang semua kebijakan BI di sisi moenter ditujukkan untuk menjaga pertumbuhan, mendorong permintaan domestik naik. Kebijakan makroprudensial juga sudah kita longgarkan,” tutur dia.

Ia berharap, kerja sama BI, pemerintah, dan otoritas lainnya dalam mentransformasi perekonomian, terutama mencari sumber-sumber pertumbuhan yang baru, dapat berbuah hasil positif. Setidaknya mampu meminimalisasi dampak eksternal terhadap ekonomi dalam negeri sehingga tetap mampu tumbuh di atas 5% hingga tahun depan.

Sebelumnya, BI telah memproyeksi pertumbuhan ekonomo Indonesia pada 2019 akan berada di titik tengah kisaran 5%-5,4% dengan bias ke bawah atau artinya di bawah 5,2%.

Sementara tahun 2020, pertumbuhan ekonomi diprediksi sedikit membaik menuju titik tengah kisaran 5,1%-5,5%.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only