Pemerintah masih kesulitan mengatur kepatuhan pajak e-commerce

JAKARTA. Pajak e-commerce menjadi ladang yang sangat potensial bagi penerimaan pajak. Pertumbuhan e-commerce. Namun pemerintah mengaku kesulitan menarik kewajiban para Wajib Pajak (WP) pelaku ekonomi digital tersebut.

Berdasarkan laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company yang dirilis pekan lalu, valuasi sektor e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 21 miliar pada tahun ini, jumlah tersebut bertumbuh 12 kali lipat ketimbang tahun 2015.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan, pada dasarnya tidak ada aturan baru bagi pajak e-commerce, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki penghasilan harus bayar pajak.

“Yang dulu kami lakukan adalah semata-mat dari pelapak di e-commerce. Sebetulnya mereka bisa bayar pajak final berdasarkan ketentuan perpajakan itu berlaku,” kata Hestu kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).

Adapun mekanisme kewajiban terkait Pajak Penghasilan (PPh) e-commerce sama dengan PPh bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan besaran 0,5% dari omzet jika omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Sementara itu, jika pelapak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal omzet melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun dan melaksanakan kewajiban terkait Pajak Penambahan Nilai (PPN) sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebelumnya, Mantan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, pemerintah seharusnya bisa mengumpulkan data pelapak e-commerce dari perusahaan pengiriman barang. Karena dalam proses bisnisnya, pelapak pasti menggunakan perusahaan jasa tersebut.

Namun demikian, Hestu bilang pelaporan pajak untuk kepatuhan merupakan kehendak dari WP. Sebab, peraturan perpajakan di Indonesia mengandung sistem self assessmen.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only