Target Pajak 2020 Terlampau Optimistis, Rawan Shortfall

Jakarta – Di tengah perekonomian yang stagnan akibat ekonomi global yang melambat, target perpajakan 2020 dinilai terlampau optimistis. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan naik 13,5 persen dari outlook 2019 yang sebesar Rp1.643,1 triliun, menjadi Rp1.865,7 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai proyeksi pertumbuhan penerimaan perpajakan ini terlalu tinggi. Akibatnya bisa sangat rawan shortfall dan malah memperlebar defisit.

Sebelumnya Kementerian Keuangan telah mengumumkan bahwa proyeksi defisit anggaran 2019 bertambah dari 1,93 persen terhadap PDB, menjadi 2-2,2 persen dari PDB baru-baru ini. Untuk 2020 sendiri, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar 1,76 persen dari PDB atau mencapai Rp 307,2 triliun, lebih rendah dari defisit tahun 2019 yang apabila menggunakan proyeksi terbaru diestimasikan mencapai Rp322 triliun hingga Rp354 triliun.

Kepatuhan formal perpajakan memang masih berpotensi untuk meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Namun, hal ini perlu diimbangi dengan kepatuhan material sehingga pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi sangat penting. “Benchmarking dan profiling perlu intensif dilakukan,” ujar Yustinus, Ahad 27 Oktober 2019.

Data DJP menunjukkan realisasi kepatuhan formal saat mencapai 12,7 juta wajib pajak (WP) atau hanya 69,3 persen dari jumlah WP yang wajib melaporkan SPT yakni 18,3 juta. Selain masih rendah, realisasi kepatuhan formal WP juga di bawah ekspektasi pemerintah yang mematok target di angka 85 persen.

Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2020, kata Yustinus, tingkat risiko tidak tercapainya target penerimaan perpajakan masih termasuk dalam kategori sangat mungkin. Adapun kategori dampaknya tergolong sedang.

Beberapa risiko yang teridentifikasi dan dapat menimbulkan tidak tercapainya target penerimaan perpajakan antara lain lemahnya kepatuhan WP dan dinamika perubahan sistem perpajakan yang dapat menimbulkan ketidakpastian jangka pendek.

Lebih lanjut, Yustinus menuturkan, tingginya shadow economy terutama perdagangan di e-commerce serta penggunaan uang elektronik secara anonim, struktur penerimaan pajak yang didominasi oleh PPh Badan. Rendahnya tax buoyancy juga dinilai dapat menekan realisasi penerimaan pajak.

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only