JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan pemerintah untuk melebarkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN) 2019 menjadi 2 persen hingga 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tidak tepat.
Sebab pelebaran itu, menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, bukan karena realisasi belanja negara yang meningkat. Melainkan karena pendapatan negara di sektor perpajakan mengalami shortfall atau realisasi penerimaan pajak lebih rendah daripada target yang ditetapkan.
“Yang masalah adalah pelebaran defisit bukan karena peningkatan belanja negara tuk ekspansi fiskal, tetapi menanggulangi sektor perpajakan yang shortfall tahun 2019 sekarang,” ujarnya saat dihubungi sinarharapan.co di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Secara pribadi, Tauhid menyatakan khawatir terhadap kondisi penerimaan pajak belum mencapai target yang ditetapakan hingga akhir tahun ini sebesar Rp 1.577,56 triliun. “Sehingga saya khawatir (pelebaran defisit) tidak efektif menahan perlambatan ekonomi pada triwulan IV tahun 2019 mendatang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tauhid berharap pemerintahan periode 2019-2024 ini mampu meningkatkan penerimaan pajak melalui langkah-langkah yang efektif, misalnya saja seperti efisiensi belanja pemerintah.
“Saya kira mau tidak mau, pemerintah lebih kerja keras lagi untuk pencapaian target pajak. Namun penting pula melakukan efesiensi belanja yang tidak perlu dan tidak produktif. Saya kira tujuannya adalah menambal defisit fiskal kita hingga 2,2 persen PDB, harapannya sumber untuk belanja negara tidak terganggu karena melemahnya penerimaan pajak kita,” paparnya.
“Sepanjang belanja negara optimal triwulan 3 dan 4 maka pertumbuhan 5,05 persen masih bisa dicapai. Ini dengan catatan bahwa ekspor dan investasi kita tidak terlalu turun drastis,” dia menambahkan.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan prakiraan penerimaan pajak yang hanya akan mencapai Rp 1.438,25 triliun hingga akhir tahun atau 91,16 persen dari target yang dipatok Rp 1.577,56 triliun.
Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhannya hanya sekitar 9,5 persen. Konsekuensinya, shortfall pajak tahun ini diperkirakan hampir Rp 140 triliun atau sekitar 26 persen lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp 110,67 triliun.
Apabila dirinci, penerimaan pajak penghasilan diperkirakan mencapai Rp 818,56 triliun atau 91,5 persen dari target. Kemudian, pajak pertambahan nilai sebesar Rp 592,79 triliun (90,4 persen), pajak bumi dan bangunan Rp18,86 triliun (98,7 persen), dan pajak lainnya Rp 7,31 triliun (85 persen).
Sumber : Sinar Harapan.CO
Leave a Reply