Sudah Tak Dikunci, Kini Bebas Keluar Lagi

Ada Rp 114,16 triliun aset repatriasi tax amnesty yang berpotensi kembali ke luar negeri.

Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak semakin berat di penghujung tahun ini. Di tengah minimnya penerimaan pajak, otoritas pajak juga dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup berat: menahan agar dana repatriasi hasil program pengampunan pajak alias tax amnesty tetap betah tinggal di dalam negeri.

Pasalnya, masa tahanatau holding periode dana repatriasi periode pertama dan kedua akan segera berakhir dalam kurun September-Desember 2019. Artinya, wajib pajak (WP) yang ikut berpartisipasi menggelontarkan dana repatriasi bebas menentukan pilihan apakah tetap menginvestasikan uangnya di dalam negeri, atau kembali melepasnya ke luar negeri.

Skema holding period tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.141/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Beleid tersebut mengatur, masa tahan dana repatriasi ditetapkan tiga tahun yang dihitug sejak wajib pajak menempatkan harta tambahannya di cabang bank persepsi yang ditunjuk pemerintah dalam rangka tax amnesty untuk menampung repatriasi.

Selama masa tahan, dana repatriasi wajib diinvestasikan di dalam negeri. Investasi yang dimaksud bisa dalam instrumen keuangan, seperti deposito, saham atau obligasi, maupun investasi langsung di sektor riil.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) pada 2016, jumlah harta yang tercatat dalam tax amnesty periode I-II sebesar Rp 3.460,80 triliun. Adapun Rp 114,16 triliun di antaranya adalah dana repatriasi.

Nah, seiring berakhirnya holding period, dana repatriasi tersebut berpotensi kembali keluar. Pasalnya, geliat investasi masih dalam tren menurun sepanjang tahun ini, terlebih ketidakpastian politik masih abu-abu bagi para investor.

Bahkan, Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia menyampaikan bahwa potensi capital outflow di Indonesia semakin besar di tengah perang dagang yang terus berlanjut antara AS dan China. Menurut Bank Dunia, perang dagang bisa memicu aksi jual dan penarikan dana dari emerging market.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, tekanan global masih akan menimbulkan ketidakpastian di pasar finansial negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. “Itu semua mempengaruhi kepercayaan investor portofolio di negara berkembang,” katanya.

Dalam kondisi tersebut, terbuka peluang dana repatriasi kembali ke luar negeri. Bila terjadi, cadangan devisa (cadev) kita bisa tergerus. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) cadev Indonesia pada akhir September 2019 senilai US$ 124,3 miliar. Angka ini berkurang US$ 2,1 miliar dibanding posisi cadev per Agustus 2019 yang sebesar US$ 126,4 miliar.

Memang, capital outflow berasal dari berbagai sumber keuangan. Namun, Bhima tidak memungkiri bahwasanya dana repatriasi yang merupakan warisan tax amnesty tersebut menjadi salah satu kontributor keluarnyanya dana para investor.

Disisi lain, tekanan yang bisa menahan arus modal masuk tidak hanya dari eksternal, tapi juga internal. Instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kerap diandalkan pemerintah untuk menarik modal asing, kini boleh jadi berkurang daya tariknya karena menurunnya imbal hasil (yield) akibat pemangkasan suku bunga acuan BI yang dalam 4 bulan terakhir telah turun sebesar 1% menjadi 5%.

Nah untuk menahan dana repatriasi tetap di dalam negeri dibutuhkan insentif khusus yang sifatnya spesifik. Misalnya dana repatriasi yang diinvestasikan di sektor properti mewah. Pemerintah belum lama ini telah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) rumah dan apartemen mewah menjadi 1% dari sebelumnya sebesar 5%.

“Supaya semakin menarik minat pemilik dana repatriasi, bisa saja batasan harga rumah dan apartemen mewah itu diturunkan lagi,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, insentif tambahan semacam itu diperlukan agar mereka betah menaruh dananya di dalam negeri. “Ingat dana repatriasi itu sudah bukan menjadi kewajiban WP, sehingga uangnya lari ke mana itu bebas,” jelasnya.

Sedangkan untuk menarik investasi langsung, kuncinya adalah perbaikan daya saing. Antara lain, percepatan izin dan pembebasan lahan, deregulasi aturan yang tumpang tindih, membangun infrastruktur pendukung kawasan industri, dan insentif fiskal yang spesifik. “Pada dasarnya, investor akan mencari tempat yang menawarkan keunggulan paling tinggi,” ujar Bhima.

Indonesia masih menarik

Menurut Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, jumlah dana repatriasi yang habis masa tahannya pada September 2019 mencapai Rp 12,6 triliun. Itu artinya pemilik dana bisa bebas membawa keluar dana tersebut dari dalam negeri. Dana repatriasi yang habis masa tahannya adalah yang masuk pasar keuangan Indonesia pada periode pertama amnesti pajak, yaitu Juli-September 2016.

Seperti diketahui, amnesti pajak berlangsung dalam tiga periode. Periode kedua Oktober-Desember 2016, dan periode ketiga Januari-Maret 2017. Adapun total dana repatriasi sebesar Rp 146 triliun.

Robert menjelaskan, dari total dana repatriasi itu, sebanyak Rp 130 triliun masuk melalui bank persepsi yang ditunjuk pemerintah. Sisanya Rp 16 triliun masuk dalam instrumen obligasi, yakni SBN.

Toh Robert menampik kekhawatiran hengkangnya dana repatriasi. “Kami meyakini bahwa berakhirnya holding period repatriasi dalam rangka tax amnesty tak ada pengaruh dana keluar. Kami lihat pergerakan sementara tidak ada yang mengkhawatirkan,” kata dia.

Senada, Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemkeu, mengatakan, setelah habisnya masa holding period pemerintah tak berhak memaksa pemilik dana untuk tetap menaruh dananya di dalam negeri. “Tapi tentu pemerintah tetap berharap mereka menginvestasikan di dalam negeri,” ujarnya.

Namun, kata Nufransa, dengan pasar obligasi Indonesia yang menjanjikan maka banyak investor tetap memilih Indonesia sebagai negara tujuan investasi pertofolio. “Imbal hasil kita sekarang bisa dibilang oaling tinggi dibanding negara lain,” jelasnya.

Maka itu, ia optimistis, dana repatriasi yang didapatkan dari program pengampunan pajak tidak akan dibawa kabur lagi dari Indonesia. Pemerintah juga berupaya agar dana repatriasi tersebut bisa masuk lebih banyak lagi ke sektor riil.

Untuk itu, pemerintah akan terus memperbaiki sistem investasi supaya lebih baik dari waktu ke waktu.

Di sisi lain, pemerintah juga mulai mengkaji rancangan Omnibus Law untuk menyederhanakan proses perizinan dan reformasi perpajakan dalam rangka percepatan investasi di dalam negeri. “Kalau insentif khusus buat dana repatriasi tidak ada, mereka bisa ikut ketentuan insentif fiskal yang berlaku secara umum,” ujar Nufransa.

Harus antisipasi

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menilai, dana repatriasi masih mungkin tetap bertahan dipasar dalam negeri, sebab imbal hasil obligasi pemerintah masih menarik dibandingkan dengan yield obligasi negara lain.

Meski demikian, menurut Yustinus, investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) masih lemah lantaran iklim investasi Indonesia belum kondusif. Akibatnya, banyak investor yang hendak membenamkan modalnya di sektor ini berpikir ulang.

Dus, masih banyak hal yang harus dibenahi untuk memperbaiki iklim investasi di dalam negeri, seperti perizinan, lahan, layanan birokrasi, regulasi, hingga kepastian hukum. “Situasi politik dan ketidakpastiannya juga membuat pemilik dana repatriasi tidak akan begitu saja menginvestasikan uangnya tetap di Indonesia,” kata Yustinus. Bila ini tak segera dibenahi, terbuka peluang investor melarikan dana repatriasinya ke luar negeri.

Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Boko mengatakan, pemerintah tetap perlu mengantiipasi potensi keluarnya dana repatriasi dengan cara sinergi antar Kementerian dan Lembaga (K/L). Di sisi lain, kebijakan fiskal dan moneter yang user friendly harus segera diterapkan kepada dunia usaha.

“Presiden juga perlu menentukan arah ekonomi dan investasi mau kemana, tugas kementerian keuangan tidak mudah. Jangan sampai, sudah ada masalah, tetapi tidak ada solusinya,” kata Ronny.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, selama ini dana repatriasi telah diinvestasikan baik di sektor riil maupun sektor keuangan (portofolio). “Dana repatriasi ada yang sudah ditanam dalam bentuk investasi di perusahaan. Namun, ada juga yang masih bersifat portofolio, seperti di saham dan obligasi,” ujarnya.

Menurutnya, prosepek ekonomi Indonesia akan sangat menentukan langkah wajib pajak yang selama ini menempatkan dana repatriasi terutama dalam instrumen investasi portofolio.

Tak hanya itu, wajib pajak membutuhkan regulasi yang mampu menjamin arah perekonomian lebih baik. Hal itu akan menjadi aspek yang di lihat oleh wajib pajak setelah holding period berakhir. “Tapi, bagi mereka yang investasi portofolio, saya pikir return sekarang masih menjanjikan,” ujarnya.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only