Menakar Prospek Penerimaan Negara dari Aktivitas Perdagangan

JAKARTA – Peforma penerimaan dari aktivitas perdagangan baik ekspor maupun impor tercatat mengalami pelambatan. Selain imbas dari lesunya perdagangan global, implementasi sejumlah kebijakan misalnya pengendalian impor ikut menekan penerimaan dari sektor tersebut.

Dari sisi impor misalnya, sampai dengan akhir Oktober 2019 semua jenis penerimaan mulai dari bea masuk, PPN impor, hingga PPh impor tercatat mengalami kontraksi.

Sebagai contoh, penerimaan bea masuk tercatat senilai Rp30,05 triliun atau minus 6,1% dibandingkan dengan tahun lalu senilai Rp32,03 triliun, PPh 22 impor minus 0,7% atau senilai Rp44,8 triliun, dan PPN impor minus 7,1% atau senilai Rp140,2 triliun.

Satu-satunya penerimaan impor yang tumbuh positif adalah penerimaan dari PPnBM impor yang mencapai Rp3,9 triliun atau tumbuh lebih dari 15% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang hanya senilai Rp3,4 triliun.

Dengan capaian penerimaan tersebut, total keseluruhan penerinmaan pajak dalam rangka impor (PDRI) sampai 30 Oktober 2019 mencapai Rp219,1 triliun atau minus 5%.

Adapun penurunan kinerja penerimaan impor tersebut sejalan dengan kinerja aktivitas impor secara keseluruhan. Seperti diketahui data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor kumulatif Januari–September 2019 senilai US$126,1 miliar atau turun 9,12% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan kinerja impor tersebut terjadi pada impor migas dan nonmigas masing-masing US$6,2 miliar atau turun 28,09% dan US$6,4 miliar atau turun 5,54%. Penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya seluruh komponen migas, terutama mintak mentah yang mencapai 42,7%.

Partner DDTC Fiscal Research Bawoni Kristiaji menjelaskan bahwa penurunan tersebut sebenarnya sudah bisa dilihat sejak lama. Jika melihat selama 2019 ini umumnya pos penerimaan pajak dari aktivitas impor, baik PPh 22 impor, PPN dan PPnBM impor hampir semuanya memiliki pertumbuhan yang negatif.

“Pada akhirnya ini juga turut memukul penerimaan secara umum. Situasi ini tahun ini jelas berbeda dengan tahun lalu. Saya kondisi ini karena tekanan ekonomi yang berdampak bagi pola konsumsi dan impor,” jelasnya.

Di sisi lain, adanya perang dagang dan arah proteksionisme telah membuat terganggunya global supply chain yang turut berdampak bagi industri manufaktur dalam negeri. Sementara itu, pengendalian impor yang mulai dijalankan sejak akhir tahun lalu mungkin turut mempengaruhi tetapi tidak signifikan.

Dengan postur penerimaan di berbagai sektor yang mengalami tekanan Bawono menyebut prospek penerimaan hingga akhir tahun tampaknya akan cukup sulit. Apalagi jika melihat pola selama 2019 ini yang rata-rata memiliki pertumbuhan negatif year-on-year.

“Sebagai catatan, berbeda dengan pola penerimaan dari PPh dan PPN dalam negeri, umumnya juga tidak akan lonjakan penerimaan dari PDRI di akhir tahun. Jadi risiko prospek penerimaan PDRI yang menurun sepertinya cukup terbuka,” jelasnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Prastowo menganggap postur penerimaan tersebut mengonfirmasi bahwa ekonomi saat ini memang penuh tekanan.

“Tentunya seiring pelambatan perekonomian,” jelasnya.

Kendati demikian, Prastowo menganggap penerimaan dari PDRI tak bisa dijadikan patokan untuk mengukur kinerja penerimaan. Pasalnya, PDRI merupakan instrumen kebijakan yang bukan merupakan sumber penerimaan.

Bahkan dalam pandangannya, dengan kondisi yang serba tidak pasti beberapa instrumen tarif misalnya bea masuk perlu ditinjau ulang, salah satunya adalah bea masuk untuk suku cadang pesawat. Di negeri jiran seperti Malaysia tarifnya 0%.

“Apalagi secara umum pajak dalam rangka impor adalah instrumen kebijakan bukan sumber penerimaan,” tegasnya.

Penerimaan Cukai

Sementara itu, pada waktu yang sama penerimaan dari cukai tercatat mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan penerimaa dari jenis penerimaan lainnya. Realisasi penerimaan cukai sampai 30 Oktober 2019 mencapai Rp122,2 triliun atau 73,8% dari target APBN 2019 senilai Rp165,5 triliun.

Kinerja penerimaan cukai tersebut ditopang oleh penerimaan dari cukai hasil tembakau senilai Rp116,7 triliun atau naik Rp15,7 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA) yang mencapai Rp5,9 triliun. Penerimaan dari etil alkohol tercatat mengalami kontraksi senilai Rp12-an miliar atau berada pada angka Rp103 miliar.

Adapun jika diakumulasikan antara penerimaan kepabeanan dengan penerimaan cukai, realisasi penerimaan Bea Cukai sampai dengan 30 Oktober mencapai Rp154,1 triliun atau 74,3% dari target penerimaan senilai Rp208,8 trilun. Artinya sampai dengan 2 bulan mendatang, otoritas kepabeanan perlu mengejar penerimaan senilai Rp54,7 triliun untuk menggenapi target penerimaan 2019.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only