Menguji Optimisme Tiga Otoritas

Di tengah sentimen negatif, tiga pemegang otoritas menegaskan optimisme. Kondisi ekonomi global tidak seburuk yang dipersepsikan. Ekonomi Indonesia pun cukup kuat ditopang oleh konsumsi domestik, investasi, dan belanja pemerintah.

Lebih dari itu, ketiga pemegang otoritas menyatakan solid dalam mencermati dinamika ekonomi dan bahu-membahu dalam mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas ekonomi.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebagai pemegang otoritas fiskal menyatakan, pihaknya responsive dalam mendukung ekspansi dunia usaha. Selama lima tahun terakhir, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar Rp 150 triliun akibat kebijakan insentif pajak yang diberikan kepada dunia usaha.

Ke depan, pemerintah akan menurunkan bertahap pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dari 25% ke 20% tahun 2021. Pemerintah juga meningkatkan daya beli masyarakat dengan tetap mengalokasikan dana desa sekitar Rp 1 miliar per desa. Mulai tahun 2020, kelurahan juga mendapatkan dana desa. Para fakir miskin mendapatkan bantuan dana lewat program keluarga harapan yang pada tahun 2019 sebesar Rp 34 triliun dan menembus Rp 35 triliun pada tahun 2020. Total belanja untuk menurunkan kemiskinan mencapai Rp 372,5 triliun pada tahun 2020.

Untuk program BPJS Kesehatan, rakyat tidak mampu sekitar 132 juta masuk kategori peserta bantuan iuran. Iuran mereka 100% dibayar negara. Pemerintah juga tetap menyalurkan dana pendidikan 20% dari APBN sesuai amanat konstitusi.

Dana transfer ke daerah terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2020, dana transfer ke daerah mencapai Rp 784,9 triliun dan dana desa sebesar Rp 72 triliun.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyatakan, kondisi lembaga keuangan saat ini dalam kondisi sehat. Modal perbankan, yang terceremin pada capital adequacy ratio (CAR) mencapai 23% pada September 2019. Kredit perbankan tahun 2020 masih akan bertumbuh di atas 10%. Sambil terus membenahi market deepening, pasar modal saat ini siap menerima emiten baru, baik untuk untuk emisi saham maupun emisi obligasi.

Sedang Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, semua instrumen yang diterbitkan otoritas moneter dan otoritas makroprudensial bertujuan untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi. Sejumlah kebijakan untuk relaksasi sudah diterbitkan. Sempat mencapai 6% pada 16 November 2018 hingga 20 Juni 2019, suku bunga acuan BI terus diturunkan perlahan. Pada 24 Oktober 2019, BI 7-day Reverse Repo Rate sudah berada di level 5%.

BI juga sudah beberapa kali melonggarkan peraturan kredit untuk perumahan. Bank sentral sejak tahun 2018 melonggarkan loan to value (LTV) untuk kredit pemilihan rumah (KPR). Uang muka untuk pemilikan rumah kedua dan seterusnya diturunkan. Relaksasi dilakukan untuk mendorong pembangunan sektor properti. Geliat sektor ini menggerakkan puluhan sektor lainnya dan mendongkrak permintaan terhadap mata barang.

Penegasan ketiga pemegang otoritas ini disampaikan pada seminar bertopik Embracing the Opportunities in Dynamic Global Economy yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan dan Self Regulatory Organization (SRO), yakni PT BEI, KSEI, dan KPEI. Kondisi ekonomi global sesungguhnya masih cukup kuat. Sejumlah negara yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia masih bertumbuh positif. Namun, trade war yang digulirkan Presiden Donald Trump tahun 2018 memicu sentimen negatif, bahkan terjadi akselerasi ekspektasi negative terhadap prospek ekonomi 2020. Trade war memengaruhi psikologi pelaku bisnis seluruh dunia. AS yang sebelumnya merupakan kampiun pasar bebas, bahkan pengekspor globalisasi, kini berubah menjadi negara proteksionistis. Sikap AS di bawah Trump memicu ketidakpastian ekonomi dunia.

Kondisi ekonomi yang semula tidak terlalu mengkhawatirkan dipersepsikan sangat mengkhawatirkan Meski sudah revisi turun, tahun ini, laju pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 3% dan tahun 2020 sedikit lebih tinggi, yakni di level 3,1%. Ada masalah serius yang dialami Jerman, Singapura, Turki, dan Argentina. Tapi, secara umum, ekonomi berbagai negara masih bertumbuh positif. AS masih bertumbuh di atas 2,5% tahun depan. Kendati turun, laju pertumbuhan ekonomi RRT masih di atas 6%. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi India. Konsumsi rumah tangga mengontribusi 56,8% terhadap PDB.

Fakta ini menunjukkan betapa penting upaya menjaga daya beli rumah tangga. Meski kontribusi hanya 6,4%, belanja pemerintah sangat penting untuk memberikan sinyal kepada dunia usaha. Pada tahun 2020, belanja infrastruktur mencapai Rp 423,3 triliun.

Pembangunan infrastruktur tetap menjadi fokus pemerintah di samping pembangunan sumber daya manusia dan upaya menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Sektor pendidikan mendapat alokasi dana Rp 508,1 triliun, dana perlindungan sosial Rp 372,5 triliun, dan program jaminan kesehatan nasional Rp 132,2 triliun.

Pembangunan infrastruktur penting untuk melancarkan dan meningkatkan akses kendaraan dari pelabuhan ke sentra produksi dan akses lalu-lintas ke daerah tujuan investasi.

Di samping infrastruktur, sektor usaha yang akan digerakkan pemerintah adalah lima sektor industry yang sudah ditentukan pemerintah dalam program Making Industry 4.0.

Kelima sektor industri itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, elektronik, otomotif, dan petrokimia. Perbankan juga akan memprioritaskan enam sektor ini. Bagi para pelaku usaha, harapan terbesar mereka dari ketiga otoritas adalah soliditas. Jika ketiga otoritas benar-benar solid, maka ke depan tidak akan ada kebijakan yang saling bertentangan. Bila kebijakan ketiga otoritas ini benar-benar probisnis dan saling mendukung, maka pertumbuhan 5,3% tahun 2020 bukan sesuatu yang sulit.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only