Shortfall Pajak Aman, Jangan Rem Belanja

JAKARTA, investor.id – Realisasi penerimaan pajak tahun ini yang diperkirakan meleset dari target atau mengalami shortfall sekitar Rp140 triliun masih aman. Sebab, di tengah rendahnya penerimaan negara, realisasi defisit APBN 2019 kemungkinan di bawah target 1,84% terhadap produk domestik bruto (PDB). Dengan demikian, pemerintah tidak perlu mengerem belanja karena masih punya ruang fiskal yang cukup lebar untuk melakukan ekspansi pada kuartal IV tahun ini.

Pada 2020, pemerintah juga perlu lebih agresif merealisasikan belanja APBN agar perekonomian nasional tumbuh lebih akseleratif. Bahkan, dengan realisasi belanja yang lebih berkualitas dan terkelola dengan baik (manageable), pemerintah bisa menambah utang dan memperbesar defisit untuk mendongkrak perekonomian nasional yang tahun depan ditargetkan tumbuh 5,3%.

Belanja APBN yang berkualitas dan kebijakan fiskal yang ekspansif diperlukan karena sumber-sumber lain pertumbuhan ekonomi sedang terimbas perlambatan ekonomi global. Sumber pertumbuhan ekonomi nasional dari sisi pengeluaran selama ini berasal dari konsumsi rumah tangga dengan porsi 55-57%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi 31-33%, ekspor 17-19% (dikurangi impor 16-18%), konsumsi pemerintah 7-8%, dan lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) dengan porsi 1-1,4%.

Hal itu terungkap dalam wawancara Investor Daily dengan ekonom senior PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, ekonom Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi, dan Direktur Riset Center of Reforms on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam.

Hal senada dikemukakan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Dirjen Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman, serta Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, akhir pekan lalu.

Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi pembiayaan melalui utang hingga 30 September 2019 mencapai Rp 317,7 triliun atau sudah memenuhi 88% dari target APBN sebesar Rp 359 triliun. Utang tersebut naik 3,7% dibandingkan periode sama 2018 sebesar Rp 306,4 triliun. Di sisi lain, realisasi belanja negara mencapai 56,4% per Agustus 2019 atau senilai Rp 1.388,3 triliun dari target Rp 2.461,11 triliun.

Pada kuartal III-2019, konsumsi pemerintah (belanja APBN) hanya tumbuh 0,98%. Angka itu anjlok dibanding kuartal II-2019 dan kuartal III-2018 yang masing-masing mencapai 8,25% dan 6,27% secara tahunan (year on year/yoy). Sedangkan secara kuartalan (quarter to quarter/Q to Q), konsumsi pemerintah pada kuartal III-2019 minus 0,79%, pada kuartal II-2019 tumbuh 36,32%, dan pada kuartal III-2018 tumbuh 6,36%.

Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,07%, pada kuartal II-2019 sebesar 5,05%, dan pada kuartal III-2019 sebesar 5,02%. Dengan tren tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini diperkirakan hanya mencapai 5,1%, di bawah target atau asumsi APBN sebesar 5,3%. Tahun depan, pemerintah juga menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.

Kemenkeu memperkirakan realisasi penerimaan pajak tahun ini mengalami shortfall Rp 140 triliun dari target APBN sebesar Rp 1.577,56 triliun, atau hanya tercapai Rp 1,315.91 triliun (91%). Meski demikian, proyeksi penerimaan tersebut masih meningkat 9% dibanding realisasi pada 2018 sebesar Rp 1.315,91 triliun.

Hingga akhir Agustus 2019, realisasi penerimaan pajak tumbuh tipis 0,21% (yoy) menjadi Rp 801,16 triliun, atau 50,78% dari target APBN sebesar Rp 1.577,56 triliun. Rinciannya, pajak penghasilan (PPh) migas Rp 454,78 triliun, PPh nonmigas Rp 39,42 triliun,

pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) Rp 288,01 triliun, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya Rp 18,94 triliun.

Peran Pemerintah

Ekonom senior Bank Mandiri Dendi Ramdani mengungkapkan, meski kemungkinan terjadi shortfall pajak sekitar Rp 140 triliun, secara umum defisit fiskal 2019 akan berada di bawah target pemerintah sebesar 1,84% terhadap PDB. Apalagi realisasi defisit hingga Agustus 2019 baru mencapai 1,24% terhadap PDB karena realisasi belanja negara yang lambat, baru mencapai 56,4% pada periode yang sama.

Belanja APBN yang lambat, menurut Dendi, turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang hanya mencapai 5,02%. Pada periode itu, belanja pemerintah cuma tumbuh 0,98%. Sedangkan konsumsi rumah tangga, PMTB, ekspor, konsumsi LNPRT, dan impor masing-masing tumbuh 5,01%, 4,2%, 0,02%, 7,44%, dan minus 8,61%.

“Padahal, pertumbuhan belanja pemerintah cukup tinggi pada kuartal I dan II masing-masing sebesar 5,21% dan 8,23%,” ujar dia.

Dendi Ramdani menjelaskan, dalam kondisi ekonomi yang lesu akibat pelemahan ekonomi global, harga komoditas yang rendah, dan perang dagang AS-Tiongkok, peran belanja pemerintah sangat penting sebagai kebijakan counter cyclical (melawan siklus) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Itulah sebabnya, pada kuartal IV-2019 dan 2020, belanja pemerintah harus lebih agresif, tapi tentu mesti diikuti kualitas belanja yang lebih efektif dan efisien,” tegas Dendi.

Dendi mengakui, untuk menutup shortfall pajak sekaligus bisa menjaga agar belanja menjadi stimulus ekonomi, mau tidak mau pemerintah harus berutang. Alternatifnya, pemerintah bisa menerbitkan global bond dalam mata uang dolar AS, karena imbal hasil (yield) obligasi dolar sedang turun. Dengan begitu, biaya dana (cost of fund)-nya lebih murah.

“Tantangannya adalah mencari sumber pendanaan yang tidak menimbulkan crowding out effect atau memperketat likuiditas di dalam negeri. Sebab hal itu akan membuat suku bunga sulit turun dan memperlambat kebijakan pelonggaran moneter yang sudah dilakukan BI,” papar dia.

Kepala Ekonom BCA David Sumual memperkirakan realisasi penerimaan pajak 2019 mengalami shortfall sekitar Rp 140 triliun dari target APBN sebesar Rp 1.577,56 triliun, atau hanya terealisasi sekitar Rp 1.315,91 triliun (91%).

Menurut dia, meski di bawah target, penerimaan pajak masih aman. “Masih sangat aman, walau mungkin fiscal deficit akan sedikit lebih lebar dari target. Masih aman dan tidak perlu mengerem belanja sampai akhir tahun ini. Realisasi so far on track untuk defisit sekitar 2,4% terhadap PDB,” tandas dia.

David mengemukakan, dari empat jenis pajak, yakni PPh, PPN, PPnBM, serta PBB, pertumbuhannya yang paling lambat adalah PPN dan PPNBM. “Jenis pajak yang paling lambat pertumbuhannya adalah PPN dan PPnBM yang tumbuh 44%. Itu data per Agustus 2019. Kalau PPh itu tumbuhnya 59%, hanya nonmigas. Sedangkan PBB tumbuhnya 68%,” papar dia.

David Sumual menambahkan, waktu bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak 2019 tinggal sebulan lagi untuk mengatasi shortfall Rp 140 triliun. “Maka DJP atau pemerintah perlu rencana strategis, misalnya melakukan perluasan basis pajak. Ekstensifikasi, bukan intensifikasi,” ujar dia.

Dia menegaskan, dalam waktu tersisa tahun ini, yang perlu dipercepat adalah belanja APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal IV. “Mungkin tahun depan pemerintah bisa consider relaksasi untuk counter cyclical policy dalam rangka mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” ucap dia.

David juga menyarankan pemerintah lebih agresif merilis surat utang (bonds) karena suku bunga sedang rendah. “Kalau bisa, cari funding di global market saja, jangan domestik. “Crowding out bisa saja terjadi kalau pemerintah menerbitkan bonds di pasar domestik,” tutur dia.

Terlalu Optimistis

Di sisi lain, Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, berdasarkan kajian CITA, penerimaan pajak hingga akhir Desember 2019 diperkirakan terealisasi Rp 1.399,17 triliun hingga Rp 1.351,18 triliun, atau 85,66% sampai 88,70% dari target APBN. “Dengan demikian, penerimaan pajak diperkirakan kembali mengalami shortfall Rp 178,39 triliun sampai Rp 226,38 triliun,” ujar dia.

Yustinus mengakui, target perpajakan 2020 juga terlalu optimistik di tengah ekonomi yang stagnan. Dengan proyeksi pertumbuhan yang terlampau tinggi, penerimaan pajak tahun depan pun rawan shortfall, sehingga defisit APBN bisa melebar. “Defisit kemungkinan melebar. Konsekuensinya, utang akan bertambah jika belanjanya tetap,” ujar Yustinus.

Pengamat ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan, pembengkakan defisit akan berdampak pada peningkatan kebutuhan pembiayaan. Sebagian dari peningkatan kebutuhan pembiayaan defisit bisa diambil dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (Silpa). Atau pemerintah bisa menambah jumlah utang. Sektor pembiayaan bisa ditambahkan dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) serta menambah pinjaman domestik dan luar negeri.

“Kemungkinan defisit APBN bisa melebar ke 2,1% sampai 2,2% terhadap nominal PDB. Target awal defisit APBN 2019 kan sekitar 1,84%. Kalau patokannya di batas 3% dari nominal PDB, berdasarkan UU Keuangan Negara, ya angka ini masih di bawah ambang batas,” ucap dia.

Eric menjelaskan, agar defisit tidak terlalu jauh dari target, pemerintah bisa mengurangi belanja, misalnya dengan membatalkan atau menunda pos belanja yang tidak penting. Posisi defisit sebaiknya tetap dijaga di bawah 3% terhadap PDB.

“Memperbesar defisit APBN untuk menggenjot pertumbuhan ada trade off-nya ke risk appetite investor SBN. Mereka concern terhadap risiko pembengkakan defisit APBN karena ada pengaruhnya ke peringkat kredit SBN,” tutur dia.

Dia menambahkan, penerbitan SBN idealnya melihat kondisi defisit APBN berjalan dan beban bunga yang mesti ditanggung pada tahun mendatang. Yield yang tinggi di satu sisi membuat SBN tetap atraktif dan akan membantu penguatan nilai tukar rupiah. Tetapi ada pemisahan dalam bentuk beban utang yang mesti ditanggung.

“Selain SBN, ada alternatif lain yang lebih murah, misalnya pinjaman bilateral atau multilateral yang bunganya lebih rendah dari SBN,” ujar dia.

Direktur Riset Core Piter Abdullah Redjalam mengemukakan, ada dua pandangan mengenai defisit APBN. Pertama, bagi yang mengutamakan kestabilan dengan indikator defisit fiskal rendah, realisasi penerimaan pajak yang rendah akan menjadi ancaman karena akan mendorong defisit SPBN meningkat. Kedua, mereka yang punya pandangan bahwa defisit fiskal adalah kelaziman, apalagi untuk indonesia yang rasio utangnya masih sangat rendah.

“Shortfall pajak bukan berarti kiamat, sebab bisa ditutup dengan utang. No problem at all. Fiskal baru berbahaya kalau pemerintah mengalami shortfall pajak dan pada saat bersamaan tidak bisa lagi berutang,” ujar Piter.

Pemerintah, menurut Piter Abdullah, akan berupaya menahan pelebaran defisit pada kisaran 2-2,5% terhadap PDB. Mendongkrak pertumbuhan ekonomi sebaiknya tidak dengan cara melebarkan defisit, tetapi meningkatkan stimulus dan ekspansi fiskal, yaitu memberikan kelonggaran pajak.

“Penerimaan negara tidak dipacu, sementara di sisi lain belanja pemerintah dinaikkan. Konsukuensinya defisit melebar. Crowding out tidak akan terjadi kalau penerbitan surat utang diimbangi kebijakan moneter BI yang lebih ekspansif,” ujar Piter.

Perlebar Defisit

Sementara itu, Wamenkeu Suahasil Nazara mengemukakan, ketidakpastian ekonomi global berdampak pada perekonomian domestik. Karena itu, pemerintah terus mengoptimalkan sumber pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi (PMTB), dan belanja APBN.

“Kebijakan fiskal terus dijalankan sebagai langkah counter cyclical mengantisipasi pelemahan ekonomi. Kami fokus menggunakan kebijakan fiskal sebagai instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” ucap dia.

Saat pemerintah menjalankan kebijakan fiskal, menurut Suahasil, banyak pihak yang hanya melihat terjadinya shortfall pajak. Padahal, kebijakan fiskal tidak hanya sebatas penerimaan negara. Masih ada elemen lainnya, yaitu belanja dan pembiayaan. “Saat pertumbuhan penerimaan tidak terjadi sesuai ekspektasi, yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan efisiensi belanja,” tegas dia.

Dia mengungkapkan, shortfall pajak bisa dikompensasi oleh efisiensi belanja. Pemerintah tidak akan memotong anggaran pada sisa anggaran tahun ini. Sebaliknya, pemerintah akan meningkatkan defisit anggaran ke kisaran 2% hingga 2,2% dengan menggunakan instrumen pembiayaan. “Kebijakan pemotongan anggaran itu bersifat pro-cyclical, tidak sejalan dengan kebijakan fiskal negara,” tandas Suahasil.

Disisi lain Dirjen Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan, defisit APBN sampai akhir 2019 bakal berada di kisaran 2-2,2% terhadap PDB. Angka tersebut melampaui target dan outlook APBN 2019 masing-masing sebesar 1,87% dan 1,93%.

Dia menegaskan, pelebaran defisit bertujuan mendorong peningkatan penerimaan negara. Penerimaan negara sedang mengalami tekanan akibat ketidakpastian global. “Ketika ekonomi dalam tekanan, butuh stimulus supaya ekonomi tidak terpuruk lebih dalam. Salah satunya melalui pelebaran defisit APBN sebagai cara counter cyclical,” tegas Luky.

Pemerintah, kata dia, mendorong pertumbuhan belanja agar dapat mendongkrak penerimaan negara dari perpajakan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Belanja terus didorong agar berkualitas dan produktif sehingga dampaknya bisa langsung berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Belanjanya harus berkualitas dan produktif. Kalau kita lebarkan ke level 4-5% sekali pun, jika belanjanya tidak produktif, buat apa? Sebab tidak akan berkontribusi terhadap penerimaan negara,” tegas Luky.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengemukakan, shortfall pajak baru akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi jika belanja APBN dipangkas. BI akan terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, baik melalui kebijakan moneter maupun kebijakan makroprodensial.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, pemerintah akan terus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam kebijakan pembiyaan utang dengan mengendalikan utang dalam rasio yang aman dan bisa dikendalikan, yaitu 29,4% hingga 30,1% terhadap PDB.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only