Hingga Oktober, defisit APBN mencapai Rp 289 triliun

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melaporkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 per akhir Oktober sebesar Rp 289,1 triliun.  

Realisasi defisit anggaran tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 229,7 triliun.

Secara persentase, defisit anggaran hingga Oktober mencapai 1,8% terhadap produk domestik bruto (PDB). Persentase defisit melebar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di mana defisit hanya 1,56% dari PDB.

Total pendapatan negara per akhir Oktober mencapai Rp 1.508,9 triliun atau tumbuh 1,2% year on year (yoy). Realisasi pendapatan negara memenuhi 69,7% dari target pendapatan dalam APBN yang secara keseluruhan sebesar Rp 2.165,11 triliun. 

Sementara, belanja negara hingga Oktober tumbuh 4,5% yoy atau mencapai Rp 1.798 triliun. Realisasi belanja tersebut memenuhi 73,1% dari pagu sebesar Rp 2.461,1 triliun. 
Pertumbuhan belanja sepanjang tahun ini lebih lambat dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 11,9%. 

Akhir Oktober, keseimbangan primer berada dalam posisi defisit sebesar Rp 68,4 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, keseimbangan primer mengalami defisit jauh lebih rendah yaitu Rp 16,5 triliun.  

Adapun, pembiayaan anggaran mencapai Rp 373,4 triliun atau mencapai 126,1% dari pagu yang sebesar Rp 296 triliun. Pembiayaan utang sebesar Rp 384,5 triliun atau memenuhi 107% dari pagu yang sebesar Rp 359,25 triliun. Pertumbuhan pembiayaan utang naik 14,2% secara yoy.  

Dengan demikian, defisit anggaran per Oktober 2019 sebesar Rp 289,1 triliun atau 1,8% terhadap PDB. Sementara, outlook pemerintah tahun ini rasio defisit terhadap PDB sebesar 2%-2,2% atau lebih lebar dari target defisit sebelumnya 1,84% dari PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui realisasi defisit hingga Oktober lalu memang cukup besar jika dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya.

“Kenaikan defisit terjadi karena penerimaan terutama penerimaan dari sektor migas, baik  PNBP maupun penerimaan perpajakan, juga penerimaan pajak nonmigas mengalami tekanan terutama pada sektor primer dan sekunder,” tutur Sri Mulyani, Senin (18/11).

Ditambah lagi, beberapa asumsi makro yang terkait dengan penerimaan seperti nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, lifting minyak dan lifting gas realisasinya lebih rendah dari asumsi APBN 2019.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only