SIN Dongkrak Penerimaan Pajak

Pendapatan negara dari pajak masih rendah dibanding sesama Negara emerging market. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di bawah 11%. Sedang di negara pasar berkembang lainnya, tax ratio sudah di atas 15%. Tapi, memacu penerimaan pajak di saat ekonomi melambat bukanlah langkah yang bijak.

Itulah situasi dilematis yang dialami pemerintah saat ini. Masyarakat wajib pajak selama lima tahun terakhir mengeluhkan tindakan para fiskus yang dinilai terlalu agresif mengejar pajak. Perusahaan yang belum beroperasi pun sudah dimintai pajak.

Usaha mikro dan kecil yang belum menghasilkan laba sudah dikejar pajak. Tapi, tax ratio yang di bawah 11% menunjukkan potensi penerimaan pajak yang masih sangat besar. Penggunaan single identity number (SIN) untuk mendapatkan data wajib pajak (WP) adalah solusi yang perlu dipertimbangkan untuk segera diterapkan.

Dengan SIN, semua data WP perorangan bisa diketahui dengan jitu. Kekayaan WP tak bisa disembunyikan. Karena lewat SIN, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa mengetahui simpanan WP di bank, investasi portofolio WP di saham dan obligasi, serta kekayaan lainnya.

Para koruptor akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindak pidana korupsi. Karena dana simpanan dan investasi mereka dengan mudah diketahui. Asalusul kekayaan pun bisa dideteksi dengan mudah. Penerapan SIN bisa dimanfaatkan untuk mencapai sejumlah sasaran sekaligus.

Di negara maju, nilai pajak penghasilan (PPh) dari WP perorangan jauh lebih besar dibanding nilai PPh dari WP badan. Sedang di Indonesia, justru sebaliknya, PPh yang dibayar WP badan jauh lebih besar dari WP perorangan. Banyak orang kaya yang menyembunyikan kekayaannya di berbagai tempat, termasuk menyimpan di luar negeri.

Pemerintah perlu lebih serius membuat penyatuan data. Kondisi ekonomi yang sedang lesu justru harus dimanfaatkan untuk merapikan administrasi kependudukan. Indonesia satu data harus segera menjadi kenyataan.

Defisit APBN 2019 hingga akhir Oktober 2019 sudah mencapai Rp 289,1 triliun. Angka ini setara dengan 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) dan sudah mendekati target defisit 2019 sebesar Rp 296 triliun atau 1,84% dari PDB. Defisit ini terjadi karena realisasi penerimaan pajak yang jauh di bawah target. Porsi penerimaan pajak terhadap APBN sudah mencapai 80%. Karena itu, penurunan penerimaan pajak sangat memengaruhi target penerimaan APBN.

Penerimaan negara hingga akhir Oktober 2019 baru mencapai Rp 1.508,9 triliun atau 69,7% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.168,1 triliun. Jumlah ini terbagi dalam penerimaan perpajakan yang terealisasi sebesar Rp 1.173,89 triliun (65,71%), PNBP yang telah terealisasi sebesar Rp 333,29 triliun (88,1%), dan penerimaan hibah yang terealisasi Rp 1,72 triliun (395,55%).

Realisasi penerimaan pajak tahun 2019 diperkirakan shortfall sekitar Rp 140 triliun dari target APBN 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun. Dari perhitungan Direktur Jenderal Pajak (DJP), penerimaan pajak tahun ini sekitar Rp 1.315,91 triliun, 91% dari target. Meski demikian, proyeksi penerimaan tersebut masih meningkat 9% dibanding realisasi pada 2018 sebesar Rp 1.315,91 triliun.

Untuk memacu penerimaan pajak, dunia usaha sudah merasakan berat. Apalagi, yang terus-menerus ‘disisir’ adalah WP yang sudah patuh. Memburu dalam kebun binatang masih saja terjadi. WP kecil, menengah, dan korporasi yang sudah mengikuti tax amnesty 2016 mengeluhkan tindakan para fiskus yang terkesan tidak menepati janji. Keterbukaan mereka pada saat mengikuti tax amnesty justru dimanfaatkan untuk investigasi .

Ketika ekonomi slow down seperti saat ini, menggenjot pajak bukan langkah yang tepat. Upaya mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi harus ditempuh dengan berbagai cara, termasuk insentif pajak guna menarik minat investasi.

Indonesia bukan satu-satunya Negara yang sedang menarik minat investor. Semua negara melakukannya, termasuk negara maju.

Sumber pertumbuhan ekonomi tak cukup hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, ekspor, dan belanja pemerintah. Peningkatan investasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan penting yang mengontribusi sekitar 22% pada pertumbuhan. Karena itu, pemerintah kini habis-habisan berusaha menarik investasi lewat langkah debirokratisasi dan deregulasi untuk memudahkan perizinan, dan juga lewat insentif paja

Selain memberikan tax holiday dan tax allowance, pemerintah berencana menurunkan tarif PPh badan dari 25% secara bertahap hingga 20% mulai tahun 2021. Pada tahun-tahun awal, penurunan tarif PPh badan akan mengurangi penerimaan negara. Tapi, dalam jangka menengah dan panjang, penurunan tarif pajak akan kembali meningkatkan penerimaan pajak.

Pada tahun 2018, insentif pajak yang diberikan pemerintah mencapai Rp 220 triliun atau 1,5% dari PDB. Insentif pajak yang sudah diberikan berupa tax holiday maupun tax allowance, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2018. Ke depan, insentif yang sama akan diberikan kepada pelaku usaha.

Kita mengapresiasi langkah pemerintah dalam memberikan insentif pajak seraya berusaha untuk meraih target penerimaan pajak. Tapi, seperti tahuntahun sebelumnya, penerimaan pajak di bawah target. Kondisi ini tidak masalah sepanjang pengeluaran dijaga. Kondisi fiskal dengan defisit di bawah 2% dari PDB masih tergolong sehat.

Agar ke depan penerimaan pajak sesuai kekuatan ekonomi nasional, penggunaan SIN perlu segera diterapkan. Tax ratio yang di bawah 11% menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak masih besar. Satu persen dari PDB setara Rp 142 triliun. Jika tax ratio naik 5%, penerimaan pajak akan bertambah Rp 710 triliun.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only