Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak ( Ditjen Pajak), Kementerian Keuangan, memproyeksikan kekurangan penerimaan perpajakan atau shortfall hingga akhir tahun 2019 mencapai 140 triliun rupiah. Angka ini lebih tinggi 30 triliun rupiah dari shortfall tahun lalu yang mencapai 108,1 triliun rupiah.
Perkiraan shortfall tersebut memperhitungkan melambatnya pertumbuhan penerimaan hingga Oktober 2019 ini yang hanya tumbuh 0,23 persen atau 1.018,47 triliun rupiah. Angka tersebut merosot tajam jika dibandingkan penerimaan tahun lalu yang tumbuh hingga 16,21 persen. Selain itu, nilai kekurangan penerimaan pajak tahun ini tidak akan lebih dari akumulasi shortfall dalam dua tahun terakhir yang mencapai 240 triliun rupiah.
Berdasarkan laporan kinerja Ditjen Pajak, realisasi penerimaan pajak pada 2017 mencapai 1.151,12 triliun rupiah dan 1.313,51 triliun rupiah pada 2018. Dengan realisasi tersebut, kekurangan penerimaan pajak pada 2017 dan 2018 masing-masing mencapai 127,2 triliun rupiah dan 110,78 triliun rupiah.
Diketahui, hingga Oktober 2019, penerimaan pajak baru mencapai 1.018,47 triliun rupiah atau 64,56 persen dari target penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 1.577,56 triliun rupiah. Dengan demikian, dalam dua bulan terakhir, DJP perlu mengumpulkan 559 triliun rupiah untuk mencapai target penerimaan perpajakan tahun ini. Mungkinkah?
Ada tiga faktor yang menjadi penyebab realisasi penerimaan perpajakan pada 2019 melambat, pertama akibat restitusi atau pengembalian pajak yang dipercepat. Fasilitas ini diberikan oleh pemerintah dan sudah diprediksi dari awal akan meningkat.
Faktor kedua yaitu keadaan ekonomi global sedang melemah sehingga mempengaruhi aktivitas ekspor dan impor dalam negeri yang ikut menurun secara signifikan. Hal tersebut menyebabkan PPh dan PPn impor yang seharusnya berkontribusi hampir 18 persen dari total penerimaan pajak dan ditargetkan dapat tumbuh 23 persen pada APBN 2019 kini pertumbuhannya justru terkontraksi tujuh persen.
Bahkan, perkembangan Juli sampai Oktober penurunannya makin dalam menjadi minus tujuh persen. Ini tertransmisi ke perekonomian dalam negeri, misalnya dilihat dari jumlah penyerapan penjualan dalam negeri menurun dan aktivitas impor juga menurun.
Faktor ketiga yakni harga komoditas masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan meskipun sudah ada perbaikan pada harga komoditas sawit, namun dampaknya baru bisa dirasakan pada Desember mendatang.
Pemerintah tampaknya sudah mengantisipasi penerimaan pajak tak sesuai harapan. Pemerintah juga tenang-tenang saja sehingga tidak menimbulkan spekulasi, apalagi gejolak.
Soalnya kemudian, mengapa penerimaan pajak bisa tak sesuai target? Padahal, pemerintah tampak begitu antusias mampu memenuhinya. Malah, pemerintah ketika itu punya sejumlah program terkait penerimaan pajak, seperti tax holiday dan amnesti pajak.
Kita berharap pemerintah segera melakukan perubahan orientasi anggaran. Misalnya, dari semula jor-joran belanja proyek, sedikit-sedikit dikurangi, kemudian menekan pengeluaran yang tidak produktif, seperti pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, yang setiap tahun harus dibayarkan.
Padahal, bank-bank yang dulu sakit itu telah sehat kembali dan pantas mengembalikan dana talangan ke negara.
Selain itu, pemerintah juga mesti konsisten menekan belanja yang sekadar ecek-ecek, seperti perjalanan keluar kota dan luar negeri, seminar atau pendidikan latihan yang tak terkait dengan kinerja pegawai.
Demikian pula, pengeluaran sekadar balas budi, seperti penempatan tim sukses di sejumlah pos penting dengan gaji lebih dari 50 juta rupiah per bulan.
Sumber : koran-jakarta.com
Leave a Reply