Ekstensifikasi Harus Dimaksimalkan

JAKARTA. Pemerintah harus memaksimalkan ekstensifi kasi untuk mengantisipasi risiko penyusutan penerimaan pajak sejalan dengan banyaknya insentif yang diberikan dalam omnibus law perpajakan.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, konsep pemberian keringanan dalam omnibus law harus terukur. Menurutnya, pemerintah tidak perlu mengobral insentif yang bisa memperlebar shortfall penerimaan pajak.

“Karena kalau menjadi shortfall akan bahaya untuk keuangan negara kita. Bagaimana supaya tidak shortfall? Maka harus ada jalan tengah yaitu ekstensifi kasi pajak,” kata dia usai dengar pendapat mengenai omnibus law perpajakan di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (4/12).

Dia memerinci, ekstensifikasi pajak punya dua fungsi yang perlu dioptimalisasi dalam omnibus law. Yakni pertama mengamankan keuangan negara, dan kedua menciptakan keberadilan untuk perlakuan ekonomi dalam level yang sama.

Pakar Pajak DDTC Darussalam menambahkan, konsep omnibus law harus mewujudkan simbiosis mutualisme antara pemerintah dengan wajib pajak. Dia menjelaskan, untuk membangun sentimen positif investor, salah satu aspek adalah tentang transparansi perpajakan. Dia menilai kepentingan mendesak omnibus law adalah menyusun ketentuan untuk percepatan ekonomi, melalui relaksasi.

“Jadi, menurut saya harusnya ada relaksasi-relaksasi, bisa dipertukarkan dengan pertukaran pastisipasi wajib pajak itu sendiri,” ujarnya. Dia mencontohkan, relaksasi pemberian insentif tertentu seharusnya bisa dipertukarkan, misalnya wajib pajak yang mendapatkan relaksasi harus memberikan data. Hal ini sangat penting dilakukan khususnya terkait penyusunan laporan keuangan suatu perusahaan.

“Jadi, wajib dapat pajak insentif, dan otoritas pajak dapat data. Dipertukarkan, jadi seimbang, sepanjang pihak-pihak yang diberikan relaksasi itu bisa memberikan kontribusi terhadap perekonomian. Jadi ada timbal balik, atau relaksasi diberikan kepada wajib pajak dengan klasifikasi yang patuh,” jelasnya.

Darussalam menyarankan kepada pemerintah agar ketentuan perpajakan ini disusun dengan detail, sehingga tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melindungi pendapatan negara.

PAJAK DAERAH

Salah satu skema yang dimuat dalam omnibus law ini adalah kewenangan pemerintah pusat untuk menentukan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Terkait wacana ini, Darussalam mengusulkan agar pajak restoran, hotel, parkir, dan hiburan diberlakukan sesuai saran dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), yakni menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Pasalnya, pemerintah pusat mempunyai sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola penerimaan pajak sektor itu di lapangan. “Itu juga dalam konteks meningkatkan tax ratio.”

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menilai, upaya merasionalisasi PDRD ini tidak akan memangkas pendapatan asli daerah (PAD). Sebaliknya, peran daerah justru akan dioptimalisasi guna menghindari perang tarif antar daerah.

Selain itu, dengan optimalisasi dari pengaturan tarif akan memperbaiki iklim investasi, karena meminimalisasi adanya kesenjangan tarif antar daerah.

Misalnya, distorsi nilai NJOP harga beli yang ditentukan oleh daerah akan berbeda dengan daerah lain. “Kalau moderasi orang [investor] akan masuk tapi diperbaiki di besarannya. Pemerintah pusat tinggal kasih instrumen pengawasan. Infrastruktur bisa dibantuk supaya daerah bisa ikut standar,” jelasnya.

Sekretaris Umum Ikatan Konsultan Pajak Kismatoro Petrus menyatakan, tujuan omnibus law untuk mendukung investasi tidak memastikan bahwa semua pajak daerah perlu dinasionalisasi. Menurutnya, pemerintah pusat harus mempertimbangkan karakteristik setiap daerah yang berbeda.

“Ini tidak harus sama ada kewenangan untuk menyamakan jadi bukan harus disamakan. Penyamaan bisa dilakukan bisa juga tidak. Jadi, ini fleksibilitas aturan supaya menarik investor,” katanya.

Ajib Hamdani menilai, pemerintah harus cermat sehingga kewenangan untuk menentukan tarif di daerah tidak bertentangan dengan otonomi daerah.

Dia pun mengimbau pemerintah pusat, khususnya Kementerian Keuangan yang membuat peraturan tetapi harus berhati-hati, serta menggandeng Kementerian Dalam Negeri.

“Saya setuju dengan itu karena penguatan perekonomiannya jalan. Tapi jangka pendek penerimannya hanya pusat tetapi semua daerah akan rontok,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan, pihaknya akan mengakomodasi seluruh masukan, baik dari pelaku usaha maupun pemerhati pajak, dalam penyusunan aturan ini.

Menurutnya, masukan itu akan menjadi bahan pertimbangan penyusunan beleid ini. “Pada prinsipnya mereka menyambut positif substansi omnibus law perpajakan ini.”

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only