PAJAK DIGITAL : Ini Kata OECD soal Efektivitas Unilateralisme

MUMBAI – Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) meminta komunitas global untuk menunggu konsensus sebelum pemungutan pajak korporasi di sektor ekonomi digital dilakukan.

Kendati demikian, Grace Perez Navaro, Wakil Direktur Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD tak mempersoalkan bagi negara-negara yang mencoba menggali atau mengoptimalkan potensi penerimaan dari sisi PPN-nya.

“Pemahaman saya jika mereka mencoba menerapkan prosedur penyederhanaan yang pada saat itu kami usulkan dengan menggunakan platform untuk membantu mengumpulkan pajak tentu itu merupakan hal yang baik,” kata Grace di Mumbai, Jumat (6/12/2019).

OECD, lanjut Grace, telah melihat negara-negara lain seperti Australia melaksanakan langkah-langkah ini menjadi sangat efektif dan sangat sukses dalam mengumpulkan pajak PPN.

Namun demikian, jika yang terjadi kemudian adalah pemungutan PPh korporasi, langkah tersebut akan sangat kontraproduktif. Apalagi, penentuan tarif maupun mekanisme pemungutannya sangat tergantung dengan langkah-langkah sepihak yang dilakukan setiap negara.

Di satu sisi, keberadaan tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) juga akan membuat setiap upaya unilateralisme ini akan mandeg. Pasalnya dalam rezim tax treaty setiap undang-undang domestik harus tunduk dengan substansi dalam tax treaty.

“Jadi mereka masih terikat oleh kewajiban perjanjian mereka kecuali mereka mengakhiri perjanjian mereka yang tidak dilakukan oleh negara sehingga dampaknya terbatas,” jelasnya.

Adapun Indonesia saat ini terikat dengan 60 lebih perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Namun demikian Pemerintah tengah mereview pelaksanaan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan perjanjian perdagangan bebas atau FTA karena berpotensi memggerus penerimaan pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa banyaknya pelaksanaan double taxation agreement dan FTA membuat wajib pajak mendapatkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif normal misalnya normalnya 20% menjadi 5%.

Di satu sisi, karena P3B maupun FTA yang sifatnya mengikat, otoritas tak mampu berbuat banyak misalnya untuk mengecek apakah skema FTA atau P3B yang dilakukan oleh WP sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

“Kita tak lagi bisa ngutek-utek [mengkajinya], makanya perjanjian internasional yang sudah kami tandatangani dulu, harus menjadi hal yang kita review lagi,” kata Sri Mulyani kepada Bisnis.com, pekan lalu.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only