Empat Hari Kerja dan Penguatan Ekonomi

Keberhasilan pelaksanaan sistem empat hari kerja dalam seminggu membuat pemerintah berhasrat ikut menerapkan, meskipun masih dalam bentuk tambahan hari libur Jumat terhitung mulai Januari 2020. Peningkatan produktivitas karyawan dengan pengurangan hari kerja, yang terbukti di Microsoft-Jepang atau Perpetual Guardian-Selandia Baru diyakini akan segera menyebar ke seluruh dunia.

Fenomena ini sudah diprediksi oleh David George Surdam (2015) dengan teori the economics of leisure. Menurut Surdam, kemauan seseorang untuk memasuki pasar kerja tergantung terhadap preferensinya untuk bekerja atau menikmati leisure time (bersantai) atau berapa upah yang tersedia serta karakteristik pekerjaan, dan faktor-faktor lainnya. Bekerja tanpa mewujudkan self esteem akan segera dihindari oleh generasi yang tidak pernah mengalami penderitaan akibat perang atau kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup baru ini merata hampir ke seluruh dunia. Generasi milenial bahkan banyak yang memilih untuk bekerja sendiri (self employment) untuk lebih memanfaatkan waktu santainya. Gaya hidup baru ini melanda seluruh golongan masyarakat, ditunjukkan dengan pergeseran pola konsumsi menuju ke pemanfaatan waktu mereka untuk bersantai.

Hasil Survei Nielsen tahun 2017 yang menunjukkan bahwa terdapat lonjakan drastis terhadap pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan di waktu santai. Pada tahun 2016, rata-rata pengeluaran rumah tangga hanya sebesar 3% sedangkan tahun 2017 naik sebesar 28%.

Kenaikan wisatawan domestik berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) juga terlihat cukup tajam. Pada periode 2009 – 2016, terdapat kenaikan wisatawan domestik mencapai hampir 80%, sementara wisatawan mancanegara juga meningkat hampir sekitar 50%. Hal ini sudah mulai dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan melakukan investasi untuk memenuhi naiknya kebutuhan akomodasi.

Pada periode yang sama, terdapat kenaikan jumlah hotel sebesar 35%, yang terutama dalam bentuk hotel berbintang. Hal tersebut juga berarti terbukanya lapangan pekerjaan pada sektor pariwisata di tanah air.

Pariwisata sebagai sumber kekuatan ekonomi yang baru sudah terbukti di banyak negara. Pemerintah pun sudah menyadari salah satu potensi kekuatan yang harus segera diwujudkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah mencanangkan target menciptakan 10 kawasan strategis pariwisata nasional yang digolongkan sebagai Bali baru dengan tujuan menarik wisatawan mancanegara.

Meskipun dicanangkan sejak tahun 2016, terdapat beberapa permasalahan utama, yakni kesiapan infrastruktur dan konektivitas. Direncanakan 5 kawasan sudah selesai tahun 2020 dengan kesiapan berstandar internasional, yakni Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Bunaken.

Permasalahan lainnya yang menghadang adalah pengendalian tata ruang, fasilitas wisatawan, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), atraksi wisata, dan promosi. Hal ini tentu saja sangat membutuhkan peranan Pemerintah Daerah (pemda), baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Indonesia memiliki banyak lokasi wisata yang sangat menjanjikan, baik berskala internasional seperti Raja Ampat maupun skala nasional yang dikunjungi wisatawan lokal. Peningkatan kawasan wisata sudah seharusnya menjadi salah satu prioritas pemda dan peranannya sangat menentukan pemanfaatan momentum ini.

Fenomena leisure economy seharusnya juga meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Daerah seharusnya dapat menangkap potensi pemajakan yang sudah menjadi hak pemda, seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame dan pajak hiburan.

Kemandirian daerah

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2000 jo Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), pemda mendapatkan objek pajak yang bersifat statis (immobile) dan mudah diadministrasikan.

Terdapat dua fungsi utama dari objek pajak daerah yang diberikan oleh daerah, yaitu daerah mampu menangkap dinamika konsumsi berkenaan dengan fenomena saat ini. Selain itu, daerah juga diharapkan mempunyai kekuatan untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mengenakan pigouvian tax, misalnya pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air tanah dan sebagainya.

Selain itu, terdapat berbagai retribusi daerah, misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dua peranan tersebut membutuhkan kearifan pemimpin daerah tersebut agar dapat berjalan beriringan.

Di sinilah seharusnya pemda dapat memainkan peran kebijakan fiskal yang bersifat lokal, misalnya mempermudah izin atau kebijakan fiskal dalam bentuk penurunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

Saat ini, hampir seluruh daerah menjadikan pajak dan retribusi daerah masih menjalankan fungsi budgeter, dengan tujuan utama mendapatkan PAD semaksimal mungkin. Hampir seluruh daerah memasang tarif pajak yang maksimal. Misalnya tarif BPHTB seluruh pemerintah kabupaten/kota adalah 5%, meskipun klausul dalam UU PDRD menyebutkan bahwa tarif BPHTB setinggi-tingginya 5%. Meskipun pemerintah pusat sudah menurunkan tarif PPh atas penjualan tanah dan/atau bangunan dari 5% ke 2,5% sejak tahun 2016, tetapi tidak ada Pemerintah Daerah yang menurunkan tarif BPHTB.

Meskipun memasang tarif yang maksimal, kapasitas daerah dalam mengelola keuangan masih belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Kapasitas pemungutan pajak oleh kabupaten/kota hanya mampu memenuhi sekitar 10% pengeluarannya. Bahkan, kontribusi pajak daerah dalam PAD terus mengalami penurunan, dari 80% menjadi sekitar 60%. Terdapat paradoks, ketika statutory tax yang maksimal tidak diikuti dengan efisiensi pemungutan pajak.

Sebagai contoh, kapasitas pemda DKI Jakarta yang dianggap paling memadai diantara seluruh pemda di seluruh Indonesia. PDRB DKI Jakarta sektor penyediaan akomodasi dan makan minum mencapai Rp 117 triliun (tahun 2017), dengan tarif pajak hotel dan restoran mencapai 10%, seharusnya penerimaan mencapai sekitar Rp 11,7 triliun. Namun, APBD tahun 2019 target penerimaan pajak hotel, restoran dan hiburan hanya Rp 6,25 triliun.

Di tengah situasi tersebut dan momentum kenaikan leisure economy dibutuhkan penyatuan persepsi antara pemerintah pusat dan pemda. Penerapan empat hari kerja oleh pemerintah pusat untuk mengakomodasi perkembangan sosiologi masyarakat sekaligus meningkatkan sektor pariwisata seharusnya dapat ditangkap oleh pemda. Faktor desentralisasi fiskal ini pun sudah menjadi salah satu yang dibahas dalam omnibus law yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah.

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only