Apa Kabar Pak Suryo? Pajak Masih Kurang Rp 400 T Lebih Nih!

Jakarta – Kabar kurang mengenakkan menghampiri perekonomian Indonesia menjelang akhir tahun.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara dari sisi pajak masih sangat jauh dari target. Padahal, saat ini sudah masuk bulan terakhir di tahun 2019.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memaparkan, hingga 10 Desember 2019 penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.136 triliun. Realisasi ini baru mencapai 72% dari target di APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577,56 triliun. Ada selisih senilai Rp 441,56 triliun yang harus dikejar jika ingin realisasi penerimaan pajak sesuai dengan target yang dicanangkan di APBN.

“Sampai awal Desember Rp 1.136 triliun atau kira-kira 72%,” ujar Suryo di Ruang Rapat Komisi XI, Rabu (11/12/2019).

Lantas, penerimaan perpajakan di tahun 2019 terbilang begitu loyo. Sebelumnya hingga akhir Oktober 2019, melansir data yang dipaparkan dalam publikasi APBN KiTa, penerimaan perpajakan tercatat senilai Rp 1.173,89 atau hanya naik tipis sebesar 1,2% jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya (Januari-Oktober 2018). Pada Januari-Oktober 2018, realisasi penerimaan perpajakan tercatat melejit hingga 15,8% secara tahunan.

Lesunya realisasi penerimaan perpajakan pada tahun 2019 tentu menjadi kabar buruk bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, penerimaan perpajakan merupakan sumber pemasukan utama bagi pemerintah pusat dalam membiayai belanjanya.

Di APBN 2019, belanja negara ditargetkan senilai Rp 2.461,11 triliun. Sementara itu, pendapatan negara ditargetkan senilai Rp 2.165,11 triliun. Dari target pendapatan negara yang senilai Rp 2.165,11 triliun tersebut, sebanyak Rp 1.786,38 triliun atau setara dengan 82,5% ditargetkan berasal dari penerimaan pajak.

Ketika penerimaan pajak lesu seperti pada tahun ini, amunisi pemerintah untuk menggenjot belanja menjadi relatif sedikit, yang pada akhirnya berpotensi membuat laju perekonomian tertatih.

Lantas, apa yang salah sehingga penerimaan perpajakan begitu lesu pada tahun ini?

Pertumbuhan Ekonomi Lebih Lemah

Salah satu faktor yang membuat penerimaan perpajakan lesu di tahun 2019 adalah laju pertumbuhan ekonomi yang sudah lesu sejak memasuki kuartal II.

Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan. Secara kumulatif pada tiga kuartal pertama tahun 2019, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Ketika perekonomian tumbuh dengan lambat, pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia akan menjadi lemah sehingga setoran pajak dari mereka akan ikut loyo.

Hingga akhir Oktober 2018, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tercatat senilai Rp 593,21 triliun, melejit hingga 17,96% jika dibandingkan posisi hingga akhir Oktober 2017. Sementara itu, hingga akhir Oktober 2019, penerimaan PPh hanya naik tipis 2,15% secara tahunan menjadi Rp 605,9 triliun.

Pada periode Januari-Oktober 2018, penerimaan PPh Badan melejit 25,21% secara tahunan. Sementara itu, pada periode Januari-Oktober 2019, penerimaan PPh pasal 22 (dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor) hanya naik tipis 6,84%.

Sementara itu, dalam periode yang sama penerimaan PPh pasal 25/29 untuk korporasi justru terkontraksi sebesar 0,7% secara tahunan.

Aneh, Konsumsi Naik Tapi PPN Loyo

Namun, lesunya laju perekonomian tak bisa disalahkan sepenuhnya sebagai faktor yang membuat penerimaan perpajakan loyo. Pasalnya, elemen yang krusial dalam penerimaan perpajakan yakni penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) justru melempem kala konsumsi masyarakat sedang relatif tinggi.

Di dalam APBN 2019, dari target penerimaan perpajakan yang senilai Rp 1.786,38 triliun, sebanyak 36,7% ditargetkan berasal dari penerimaan PPN.

BPS mencatat bahwa sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019 konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,07% jika dibandingkan dengan capaian pada sembilan bulan pertama tahun 2018. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pada sembilan bulan pertama tahun 2018 yang sebesar 5,03%. Untuk diketahui, konsumsi rumah berkontribusi lebih dari 50% dalam membentuk perekonomian Indonesia.

Seharusnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang relatif tinggi tersebut bisa mendongkrak penerimaan PPN. Namun kenyataannya, bukan ini yang terjadi.

Sepanjang Januari-Oktober 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat senilai Rp 234,8 triliun atau terkontraksi 2,42% secara tahunan. Padahal pada Januari-Oktober 2018, ada pertumbuhan sebesar 8,94%.

Patut dicurigai, hal ini bisa terjadi lantaran pemerintah hingga kini belum bisa memajaki para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital melalui berbagai marketplace yang menjamur di Indonesia.

Seperti yang diketahui, pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan yang signifikan. Toko-toko konvensional mulai ditinggalkan dan kegiatan jual-beli beralih menggunakan platform digital.

Mulai dari pakaian, perangkat telekomunikasi, hingga Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) semua bisa diperoleh dengan mudah dengan beberapa kali sentuhan di perangkat smartphone.

Namun sejauh ini, pemerintah belum berani memajaki para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital. Sejatinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.

Namun, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.

“Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru,” kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).

“Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya.”

“Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya,” kata Sri Mulyani.

Padahal, sudah waktunya pemerintah bersikap tegas terhadap para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital. Kalau berbicara mengenai asas keadilan, sikap pemerintah saat ini sangatlah tidak fair terhadap pelaku usaha konvensional yang bisnisnya direnggut oleh maraknya kehadiran marketplace di tanah air.

Kalau hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin kepatuhan wajib pajak di Indonesia akan menjadi semakin rendah lantaran ada rasa cemburu melihat perlakuan pemerintah terhadap pelaku usaha yang memasarkan produknya di marketplace.

Kini Sudah Bulat?

Perkembangan terbaru, belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan akan mengelurkan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag).

“Nanti kita akan lihat. [Turunannya] Permendag,” kata Agus saat diminta tanggapan di sela acara Penghargaan Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Tahun 2019 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Secara umum dirinya mengatakan bahwa dengan penerbitan PP Nomor 80/2019, diharapkan ada kesamaan iklim usaha antara pedagang online dan offline. Salah satu yang akan diatur adalah terkait dengan perpajakan.

“Macam-macam, salah satunya pajak [yang akan diatur],” kata Agus.

Selain pajak bagi pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital, marketplace dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia juga siap dipajaki oleh pemerintah.

Dalam pasal 7 PP Nomor 80/2019 tertulis bahwa setiap PMSE asal luar negeri wajib menujuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha yang dimaksud.

Artinya, e-commerce asal luar negeri wajib hukumnya untuk memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipergunakan subjek pajak luar negeri. Adapun mekanisme perpajakan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

“Terhadap kegiatan usaha PMSE berlaku ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan,” demikian seperti dikutip dari Pasal 8 PP Nomor 80/2019.

Sebelumnya, Sri Mulyani telah terlihat serius untuk memajaki para pelaku usaha digital seperti Netflix. Pada bulan Juli lalu, Sri Mulyani meresmikan dua Direktorat di bawah Ditektorat Jenderal Pajak. Keduanya adalah Direktorat Data Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi yang masing-masing akan dipimpin oleh seorang Direktur.

“Saya harap bawa dua direktorat baru ini yang akan menjadi kunci di dalam menentukan kemampuan kita untuk melihat, menganalisa, mencari data, mengolahnya,” ujar Sri Mulyani di Gedung Ditjen Pajak Pusat pada awal bulan Juli.

Sri Mulyani menjelaskan kedua Direktorat ini nantinya akan difokuskan untuk perpajakan di industri digital. Nantinya, keduanya akan menghimpun data langsung dari para pelaku ekonomi digital.

Seperti yang diketahui, bukan hanya pola dalam mengonsumsi barang jadi yang sudah berubah, namun pola konsumsi untuk konten-konten digital juga telah bertransformasi secara signifikan.

Kini, untuk mendengarkan musik dan menonton film, tak lagi perlu membeli CD di toko konvensional seperti zaman dulu, tapi cukup dengan berlangganan kepada perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa distribusi secara digital, Spotify dan Netflix contohnya.

Namun hingga kini, walaupun sudah begitu banyak pelanggan Spotify dan Netflix yang berdomisili di Indonesia, tak pernah ada ceritanya mereka membayar pajak. Pasalnya selama ini, kedua perusahaan tersebut belum berstatus BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau belum memiliki kantor fisik sehingga tak bisa dipajaki. Padahal kalau dihitung-hitung, nilainya seharusnya cukup besar dan bisa dialokasikan untuk pembangunan.

Sri Mulyani pada awal bulan lalu menegaskan bahwa perusahaan digital seperti Netflix dan Spotify harus membayar pajak. Dengan keberhasilan Australia dan Singapura dalam mengenakan pajak kepada Netflix, Indonesia menjadi terpacu untuk melakukan hal serupa.

“Income banyak Netflix, Spotify, mereka tak punya perusahaan di sini. Tidak akan bisa mungut pajak karena mereka nggak punya BUT (Bentuk Usaha Tetap),” ungkap Sri Mulyani di Gedung DPR, Senin (4/11/2019).

“Oleh karena itu dalam undang-undang yang kita usulkan selesai bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktifitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu wajib membayar pajak,” tegas Sri Mulyani.

Oh ya, terkait dengan lesunya penerimaan pajak pada tahun ini, tampaknya tak perlu khawatir secara berlebihan. Bahkan sebelum periode dua pemerintahan Jokowi dimulai, Sri Mulyani sudah terlihat bersikap berani dengan mengambil ancang-ancang untuk memperlebar defisit fiskal.

Pada tanggal 17 Oktober 2019, Sri Mulyani menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 144/PMK.05.2019 mengenai perkiraan defisit dan tambahan pembiayaan defisit APBN 2019.

Dalam PMK tersebut, diatur bilamana defisit fiskal tahun 2019 melebih pagu yang ditetapkan dalam APBN, maka akan ada tambahan pembiayaan.

“Dalam hal besaran perkiraan Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melampaui target Defisit APBN Tahun Anggaran 2019 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perkiraan tambahan Defisit tersebut dibiayai dengan menggunakan tambahan pembiayaan,” demikian tulis Pasal 4 aturan tersebut.

Tambahan pembiayaan yang dimaksud bisa berasal dari tiga macam sumber yakni dana Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Sejauh ini, walaupun penerimaan negara loyo (karena penerimaan pajak lemah), realisasi belanja terbilang cukup oke. Pada periode Januari-Oktober 2018, realisasi penerimaan perpajakan mencapai 71,73% dari target untuk keseluruhan tahun 2018, sementara penerimaan secara keseluruhan realisasinya mencapai 78,32%. Di saat yang sama, realisasi belanja negara adalah sebesar 77,49%.

Sementara itu, pada periode Januari-Oktober 2019, walaupun realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 65,71% dari target dan realisasi penerimaan secara keseluruhan hanya mencapai 69,69%, realisasi belanja negara bisa mencapai 73,06%.

Terlihat bahwa Sri Mulyani yang baru saja dinobatkan oleh CNBC Indonesia sebagai menteri terbaik memang berkomitmen untuk menjaga belanja negara di level yang tinggi, terlepas dari lesunya penerimaan.

Semoga di tahun-tahun mendatang, reformasi perpajakan yang saat ini tengah dikerjakan sudah bisa rampung dan berlaku efektif, sehingga penerimaan perpajakan akan menjadi lebih maksimal.

Sumber : CNBC INDONESIA

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only