Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (12/12/2019), di zona hijau tapi ditutup di zona merah.Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,09% ke level 6.185,42. Sayang, pada tengah hari IHSG justru berada di zona merah. Per akhir sesi satu, IHSG terkoreksi sebesar 0,15% ke level 6.170,85. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,66% ke level 6.139,4.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-2,47%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,61%), PT Maha Properti Indonesia Tbk/MPRO (-24,82%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-5,43%), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,63%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,14%, indeks indeks Hang Seng terapresiasi 1,31%, indeks Straits Times terkerek 0,78%, dan indeks Kospi bertambah 1,51%.
Pelaku pasar merespons positif hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Pada hari Selasa waktu setempat (10/12/2019), The Fed memulai pertemuan yang berlangsung selama dua hari. Hasil dari pertemuan tersebut diumumkan pada dini hari tadi waktu Indonesia.
The Fed memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan. Keputusan ini sesuai dengan estimasi dari para ekonom bahwa federal funds rate akan dipertahankan di rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun tak mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, pelaku pasar tetap merespons positif hasil pertemuan The Fed. Pasalnya, The Fed mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan akan terus dipertahankan di level saat ini di sepanjang tahun 2020 alias tak akan dinaikkan.
Dalam pernyataan pasca mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipertahankan, para pejabat The Fed mengungkapkan bahwa kebijakan moneter kemungkinan akan tetap berada di posisi saat ini untuk jangka waktu yang belum ditentukan.
Lebih lanjut, indikasi bahwa The Fed akan terus mempertahankan federal funds rate di level saat ini pada tahun 2020 juga ditunjukkan oleh dot plot versi terbaru.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari para anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas posisi tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Pada dot plot versi September 2019, sebanyak sembilan anggota FOMC memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dinaikkan setidaknya satu kali pada tahun depan. Kini, hanya ada empat dari 17 anggota FOMC yang memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dikerek naik sebesar 25 bps pada tahun depan.
Selain hasil pertemuan The Fed, perkembangan terkait perang dagang AS-China yang menggembirakan ikut menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning.
Wall Street Journal melaporkan bahwa AS berencana untuk menunda pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada 15 Desember mendatang, seperti dilansir CNBC International. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini mencapai US$ 160 miliar.
Ditundanya pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China tersebut dilakukan oleh AS seiring dengan upaya yang tengah dilakukan kedua belah pihak untuk memfinalisasi kesepakatan dagang tahap satu.
Pejabat AS dikabarkan telah meminta China untuk terlebih dulu membeli produk-produk agrikultur asal AS sebelum kemudian meneken kesepakatan dagang tahap satu dengan pihaknya. Di sisi lain, pihak China meminta supaya pembelian produk agrikultur asal AS yang akan mereka lakukan memiliki nilai yang proporsional dengan besaran penghapusan bea masuk tambahan yang dilakukan oleh Washington.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Penerimaan Pajak Loyo
Sentimen negatif dari dalam negeri mejadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham tanah air. Menjelang akhir tahun, kabar yang kurang mengenakan justru menghampiri perekonomian Indonesia.Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara dari sisi pajak masih sangat jauh dari target. Padahal, saat ini sudah masuk bulan terakhir di tahun 2019.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memaparkan, hingga 10 Desember 2019 penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.136 triliun. Realisasi ini baru mencapai 72% dari target di APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577,56 triliun. Ada selisih senilai Rp 441,56 triliun yang harus dikejar jika ingin realisasi penerimaan pajak sesuai dengan target yang dicanangkan di APBN.
“Sampai awal Desember Rp 1.136 triliun atau kira-kira 72%,” ujar Suryo di Ruang Rapat Komisi XI, Rabu (11/12/2019).
Lantas, penerimaan perpajakan di tahun 2019 terbilang begitu loyo. Sebelumnya hingga akhir Oktober 2019, melansir data yang dipaparkan dalam publikasi APBN KiTa, penerimaan perpajakan tercatat senilai Rp 1.173,89 atau hanya naik tipis sebesar 1,2% jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya (Januari-Oktober 2018). Pada Januari-Oktober 2018, realisasi penerimaan perpajakan tercatat melejit hingga 15,8% secara tahunan.
Lesunya realisasi penerimaan perpajakan pada tahun 2019 tentu menjadi kabar buruk bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, penerimaan perpajakan merupakan sumber pemasukan utama bagi pemerintah pusat dalam membiayai belanjanya.
Di APBN 2019, belanja negara ditargetkan senilai Rp 2.461,11 triliun. Sementara itu, pendapatan negara ditargetkan senilai Rp 2.165,11 triliun. Dari target pendapatan negara yang senilai Rp 2.165,11 triliun tersebut, sebanyak Rp 1.786,38 triliun atau setara dengan 82,5% ditargetkan berasal dari penerimaan pajak.
Ketika penerimaan pajak lesu seperti pada tahun ini, amunisi pemerintah untuk menggenjot belanja menjadi relatif sedikit, yang pada akhirnya berpotensi membuat laju perekonomian tertatih.
Salah satu faktor yang membuat penerimaan perpajakan lesu di tahun 2019 adalah laju pertumbuhan ekonomi yang sudah lesu sejak memasuki kuartal II.
Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan. Secara kumulatif pada tiga kuartal pertama tahun 2019, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Ketika perekonomian tumbuh dengan lambat, pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia akan menjadi lemah sehingga setoran pajak dari mereka akan ikut loyo.
Hingga akhir Oktober 2018, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tercatat senilai Rp 593,21 triliun, melejit hingga 17,96% jika dibandingkan posisi hingga akhir Oktober 2017. Sementara itu, hingga akhir Oktober 2019, penerimaan PPh hanya naik tipis 2,15% secara tahunan menjadi Rp 605,9 triliun.
Pada periode Januari-Oktober 2018, penerimaan PPh Badan melejit 25,21% secara tahunan. Sementara itu, pada periode Januari-Oktober 2019, penerimaan PPh pasal 22 (dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor) hanya naik tipis 6,84%.
Sementara itu, dalam periode yang sama penerimaan PPh pasal 25/29 untuk korporasi justru terkontraksi sebesar 0,7% secara tahunan.
Sumber : CNBC INDONESIA
Leave a Reply