Menkeu: Rebound Ekonomi Indonesia Semakin Terlihat

JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menuturkan, perputaran arah pertumbuhan ekonomi dari yang melambat menjadi positif semakin terlihat pada November. Perbaikan ini sebenarnya sudah terlihat sejak Oktober dengan kinerja beberapa jenis pajak yang tumbuh positif.

Diharapkan, rebound tersebut dapat diakselerasi pada Desember sehingga menjadi modal kuat untuk menghadapi 2020. Sri menjelaskan, salah satu komponen yang menunjukkan perbaikan adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21.

Meski sempat mengalami kontraksi pada kuartal ketiga hingga minus 0,82 persen, jenis pajak ini kembali tumbuh 10,42 persen pada Oktober yang akselerasi hingga 19,60 persen pada November. “PPh 21 ini kan pajak dari upah gaji dan penghasilan pekerja. Artinya, mereka memiliki posisi yang membaik,” katanya dalam konferensi pers kinerja APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (19/12).

Peningkatan pertumbuhan pada November terutama terlihat pada sektor industri pengolahan dan perdagangan dengan masing-masing tumbuh 7,84 persen dan 15,71 persen. Pertumbuhan terbesar terjadi pada jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh 25,42 persen.

Komponen paling penting yang disebutkan Sri adalah PPh Pasal 25 badan. Pada kuartal ketiga, jenis pajak ini sempat tertekan 12,68 persen yang kemudian menguat pada Oktober dengan pertumbuhan 8,45 persen. Terakhir, pada November, PPh badan tumbuh signifikan hingga 25,22 persen.

“Ini menunjukkan, kinerja perusahaan sudah akselerasi,” ucapnya.

Perbaikan juga terlihat dari Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN). Setelah tertekan minus 3,89 persen pada kuartal pertama, jenis pajak ini mampu tumbuh pada Oktober dan November dengan masing-masing nilai pertumbuhan mencapai 2,72 persen dan 2,69 persen. Peningkatan pertumbuhan terutama terlihat dari beberapa sektor utama seperti perdagangan (8,14 persen).

Sri mengatakan, perbaikan pada jenis pajak tersebut menunjukkan tanda-tanda rebound dan pembalikan yang cukup konsisten di tengah kondisi perlambatan ekonomi global saat ini.

Di sisi lain, Sri mengakui, masih ada jenis-jenis pajak yang masih mengalami kontraksi. Sebut saja PPh Pasal 22 Impor yang memang sudah mengalami pertumbuhan negatif pada semester pertama. Terakhir, pertumbuhannya adalah minus 1,5 persen, kontras dengan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 27,3 persen. “Ini sesuai dengan data statistik BPS bahwa impor memang sedang kontraksi,” tuturnya.

Kontraksi PPh 22 Impor sejalan dengan PPN Impor yang mengalami pertumbuhan negatif 7,9 persen. Sri mengatakan, kondisi ini konsisten dengan bea masuk yang juga negatif 5,04 persen dibandingkan tahun lalu menjadi Rp 33,59 triliun.

Sri memastikan, pemerintah akan terus mewaspadai tren kontraksi pada PPh 22 Impor. Terutama jika berkaitan dengan penurunan permintaan barang modal dan bahan baku yang nantinya akan berdampak terhadap sektor produksi Indonesia dalam jangka pendek.

Seiring dengan upaya tersebut, pemerintah juga mendorong penerimaan pajak dari jenis PPh Orang Pribadi (OP). Sampai akhir November, besarannya mencapai Rp 10,34 triliun atau tumbuh 16,6 persen. Tapi, karena kontribusinya masih kurang dari satu persen terhadap keseluruhan penerimaan pajak, dampaknya tidak terlalu signifikan.

Sri menjelaskan, di negara maju, kontribusi PPh OP sudah lebih besar. “Mereka pun tidak lagi bersifat pro cyclical, melainkan stabilizer,” kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Rebound yang mengarah pada perbaikan ini diharapkan Sri dapat membantu ekonomi Indonesia bertahan di tengah dinamika global saat ini. Termasuk dalam menghadapi dinamika politik Amerika Serikat (AS) yang memasuki masa baru, di mana House of Representative (DPR) setempat memakzulkan Presiden AS Donald Trump.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only