Skema Penarifan Diatur dalam PP

JAKARTA, Skema serta penarifan pajak digital akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi regulasi turunan dari UU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. 

Saat ini, rancangan undang-undang tersebut telah dituntaskan oleh pemerintah dan ditargetkan akan dibahas dengan DPR pada awal tahun depan.

Dalam draf RUU yang diperoleh Bisnis, pemerintah secara tegas menyatakan bahwa pajak atas transaksi digital akan dikenakan terhadap transaksi barang atau jasa dari luar negeri  kepada pembeli Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri secara langsung atau platform luar negeri.

Secara umum, substansi mengenai pemajakan digital dalam RUU ini dibagi dalam beberapa aspek. Pertama, pemerintah memperjelas mekanisme pemajakan bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Selain wajib menyetor PPN, RUU itu juga menekankan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh dari proses PMSE yang dilakukan oleh subyek pajak dalam negeri.

Kedua, mekanisme pengenaan PPN terhadap transaksi barang kena pajak (BKP) tak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean. Dalam hal ini, pemerintah dapat menunjuk penyedia platform marketplace dan platform luar negeri untuk memungut dan menyetor PPN.

Selanjutnya, mekanisme penunjukkan termasuk pendaftarannya akan diatur dalam peraturan di tingkat menteri. 

Ketiga, pengaturan mengenai pengenaan pajak transaksi digital. Mekanisme perlakuannya mencakup pengenaan pajak terhadap transaksi atas barang dan jasa dari luar negeri secara langsung atau melalui platform asing.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama belum bersedia memberikan penjelasan terkait hal ini. “Saya tidak bisa mengonfi rmasi itu,” ungkapnya, akhir pekan lalu.

Kendati demikian, Dirjen Pajak Suryo Utomo saat dikonfi rmasi Bisnis tak menampik substansi soal pemajakan transaksi digital. Hanya saja, kemungkinan perubahan masih terbuka. “Ya enggak tahu itu tergantung nanti,” kata dia.

Suryo mengungkapkan, dalam pemajakan PPh, pemerintah dalam posisi menunggu solusi jangka panjang dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang akan ditetapkan pada tahun depan. “Nanti kita lihat seperti apa,” imbuhnya.

Dia menambahkan, sebagai kompensasi dari langkah tersebut, pemerintah saat ini tengah menyiapkan omnibus law perpajakan. Meski belum menjangkau ketentuan PPh bagi perusahaan digital, dengan substansi yang ada saat ini akan mampu mengoptimalkan penerimaan dari aspek PPN.

“Jadi untuk PPh belum bisa dipastikan. Yang jelas kami bagian yang menunggu long term solution itu,” tegasnya.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan, ada tiga catatan untuk omnibus law terkait PPh digital.

Pertama, walau proposal OECD terkait 2 pilar akan menguntungkan Indonesia, perlu diwaspadai risiko tidak tercapainya konsensus.

Kedua, dalam konteks aksi unilateral di mana sistem pajak internasional masih merujuk pada status Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berbasis kehadiran fi sik, perluasan defi nisi BUT dalam omnibus law

juga menjadi salah satu cara untuk menghindari adanya benturan dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

“Karena pada umumnya scope P3B hanya terkait terkait UU PPh. Artinya pengaturan melalui PPh rentan untuk dibatalkan oleh P3B,” ungkapnya.

Ketiga, pengaturan PPh atas digital dalam omnibus law seharusnya tidak hanya memperluas status BUT namun juga bagaimana menjamin tax base yang merefl eksikan alokasi laba yang lebih adil.

AKSI UNILATERAL

Adapun di tingkat global, arah konsesus pemajakan digital makin tak jelas menyusul maraknya aksi unilateral. Kendati demikian, OECD pada Juni 2020 berharap bisa memberikan solusi terkait masa depan pemajakan ekonomi digital.

Organisasi tersebut telah berkirim surat ke Menteri Keuangan AS untuk mengagendakan pertemuan guna membahas ekonomi digital. OECD berharap dengan adanya pertemuan tersebut, bisa ditemukan solusi di tengah pesimisme dan aksi unilateralisme yang terjadi.

Wakil Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD Grace Perez Navaro mengakui upaya menciptakan konsesus global terkait pemajakan digital memang bukan perkara yang mudah. Apalagi, dengan komposisi negara yang memiliki posisi yang berbedabeda.

Namun demikian, dia menyadari tanpa adanya konsesus ada beberapa risiko yang bakal dihadapi. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan, OECD melalui Task Force on Digital Economy (TFDE) bakal segera membuat solusi paling tidak sampai dengan akhir Juni tahun depan.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only