Pemerintah berhadap UMKM makin banyak yang bayar pajak

JAKARTA. Pemerintah bakal menggali potensi pajak dari usaha mikro kecil menengah (UMKM) guna mengejar setoran penerimaan pajak tahun 2020. Ini seiring dengan perkembangan UMKM dalam ekonomi digital khususnya e-commerce.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan saat ini UMKM sedang dalam tahap pertumbuhan, meski secara nominal penerimaan pajak penghasilan (PPh) final tidak sebesar PPh pasal 21 atau PPh Karyawan.

“Walaupun secara nominal penerimaannya tidak terlalu besar, namun partisipasi mereka ke depan akan banyak berperan dalam penerimaan pajak, mengingat jumlah pelaku UMKM sangat besar,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Senin (6/1).

Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode November 2019 mencatat realisasi penerimaan PPh final mencapai Rp 107,45 triliun, tumbuh 6,73% secara tahunan. Adapun di tahun 2020 target penerimaan PPh final sebesar Rp 153,3 triliun tumbuh 17,6% dari target tahun lalu.

Pemerintah meyakini jumlah penerimaan PPh final semakin meningkat karena jumlah UMKM kian menjamur, terlebih lewat e-commerce. Hal itu terlihat dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) yang melaporkan sepanjang tahun lalu terdapat 3,79 juta UMKM sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah tersebut setara 8% dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta.

Yoga menyampaikan, tahun lalu jumlah pembayar pajak UMKM meningkat 30% dibanding tahun 2018. Untuk tetap menjaga tingkat kepatuhan UMKM, Ditjen Pajak melakukan pembinaan melalui Business Development System (BDS) dan edukasi perpajakan terhadap pelaku UMKM.

Demikian juga pelayanan yang semakin mudah dalam pemenuhan kewajiban perpajakan UMKM akan terus pemerintah siapkan melalui berbagai inovasinya. Misalnya perluasan channel pembayaran pajak yang sudah merambah ke marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Finnet. Tahun ini, pemerintah menargetkan ada 10 platform baru mencakup dua toko ritel besar seperti Indomeret dan Alfamaret.

Sementara itu, hasil pemanfaatan data keuangan dari Satuan Tugas (Satgas) Pajak juga bisa untuk membantu dalam konteks pengawasan. “Misalnya ada UMKM dan membayar PPh Final 0,5 %, tetapi data keuangannya memberikan gambaran yang jauh berbeda, tentu akan ditindaklanjuti dengan pengawasan,” ujar Yoga.

Saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur kesetaraan antara pedagang offline dan online. Dengan adanya beleid tersebut, Yoga mengharapkan pelaku UMKM yang sudah memenuhi persyaratan menjadi wajib pajak (WP) maka harus punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

“Ini sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan. Kalau memang belum memenuhi syarat, berarti tidak harus ber-NPWP. Tapi bukan berarti bahwa orang yang belum punya NPWP tidak bisa berjualan di e-commerce,” ucap Yoga.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi E- Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan pada dasarnya asosiasi tidak mensyaratkan UMKM di platform digital sudah menjadi wajib pajak patuh atau belum. Selama ini, UMKM melaporkan PPh final atas kehendak sendiri.

Namun, ia menyadari perluasan channel pembayaran pajak di e-commerce cukup mempermudah UMKM yang berdagang di sana bisa sekaligus membayar PPh final. Sehingga dengan perluasan yang ditargetkan tahun ini, diyakini akan menambah basis WP UMKM baru.

“PP Nomor 80 Tahun 2019 soal izin usaha e-commerce memang baru mengatur perdagangan. Tapi ke depan mungkin akan mengatur perpajakannya juga sebagai perluasan pajak dari UMKM,” kata Ignatius kepada Kontan.co.id, Senin (6/1).

Ignatius bilang, asoisasi keberatan bila nantinya UMKM yang ingin berdagangn diwajibkan mempunyai NPWP. Alasannya, prasyarat ini akan menghambat calon pelapak karena tidak semua memiliki NPWP. Mereka akan memilih berdagang di media sosial yang justru akan lebih sulit diawasi otoritas pajak.

Dari sisi profil UMKM di e-commerce pun berbeda-beda. Ignatius menerangkan bahwa tidak semua pelapak memiliki niat serius berkelanjutan dalam berdagang. “Ada sebagian yang hanya coba-coba, bahkan cuma menjual satu barang dari hadiah dia jual di e-commerce,” ujar Ignatius.

Dia menegaskan, untuk dapat mengatur kepatuhan perpajakan UMKM di e-commerce, asosiasi membuka pintu lebar-lebar dengan pemerintah untuk mendiskusikan skema perpajakan apa yang diinginkan dengan tidak membebani industri yang sedang berkembang itu, tapi tetap menjunjung level playing field dalam dunia usaha.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only