Otoritas Berwenang Tagih Imbalan Bunga

JAKARTA, Pemerintah mengusulkan ketentuan baru mengenai imbalan bunga dan sanksi administratif berupa bunga dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan.

Dalam draf rancangan yang diperoleh Bisnis, dituliskan bahwa Dirjen Pajak berwenang untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada wajib pajak (WP).

Imbalan bunga bisa ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan syarat apabila diterbitkan keputusan, diterima putusan, atau ditemukan data atau informasi yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada WP.

Tata cara penerbitan STP atas imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada WP nantinya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Adapun, besaran imbalan bunga yang diberikan saat ini sebesar 2% dinilai terlalu besar. Angka ini juga lebih besar dari suku bunga yang berlaku di pasar domestik, sehingga menimbulkan perilaku WP yang melakukan tax planning dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari imbalan bunga.

“Dalam hal terdapat ketetapan pajak yang diajukan upaya hukum oleh WP, terdapat kecenderungan WP melakukan pembayaran atas jumlah ketetapan pajak yang diajukan keberatan. Pada saat putusan atas upaya hukum tersebut dikabulkan, maka terdapat imbalan bunga yang harus diberikan kepada WP sebesar 2% per bulan,” tulis naskah akademik Omnibus Law Perpajakan yang dikutip Bisnis.

Selain itu, pemerintah menganggap jumlah bulan yang digunakan untuk menghitung imbalan bunga tidak tepat. Dalam Pasal 27A ayat 1 UU KUP, imbalan bunga atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) Nihil yang diajukan keberatan dihitung sejak penerbitan SKP Nihil hingga tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Namun, Pasal 25 ayat 3 mengatur bahwa keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak SKP dikirim. Bila WP mengajukan keberatan pada akhir bulan ketiga, maka WP telah dihitung memperoleh imbalan bunga walaupun proses penyelesaian belum tuntas.

Hal ini pun merugikan keuangan negara karena harus memberikan imbalan bunga untuk periode waktu yang berada dalam kendali WP-nya sendiri. Artinya, semakin lama WP mengajukan upaya hukum maka semakin besar imbalan bunga yang diperoleh.

Dengan ini, imbalan bunga diusulkan berdasarkan suku bunga acuan. Langkah ini dinilai bisa memitigasi perilaku WP yang hendak mencari keuntungan dari upaya hukum yang diajukan.

Adapun, tarif bunga per bulan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 dan diberikan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh satu tahun. Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama mengatakan, pelaku usaha tidak pernah berupaya mengambil untung dari skema perpajakan.

Bahkan, pengusaha sebisa mungkin menghindar dari masalah pajak, termasuk tax planning. “Pengusaha sebisa mungkin tidak berurusan atau mencari uang dari pajak,” tegasnya kepada Bisnis, Senin (10/2).

Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono menilai, revisi imbalan bunga dalam regulasi itu seimbang dengan penurunan PPh Badan.

“Pengurangan PPh badan diberikan, tapi juga ada yang diminta dari pengusaha yakni pengurangan imbalan bunga, itu adalah suatu keseimbangan,” ujarnya.

Meski terdapat penurunan imbalan bunga, Herman mengatakan bahwa sanksi administratif berupa bunga yang tarifnya juga mengacu kepada suku bunga acuan masih terlalu berat.

Apabila berpatok pada suku bunga acuan yang saat ini berlaku yakni sebesar 5% per tahun, maka pengusaha bisa membayar hingga 10% apabila dimaksimalkan 2 tahun. “Kalau 5% per tahun maka harus ada jalan tengah, masa pemerintah mau 5%. Harapannya jangan sampai 5% per tahun,” ujar Herman.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, tax planning terkait imbalan bunga sering terjadi dalam hal WP bersengketa dengan otoritas pajak.

Berdasarkan Pasal 25 ayat 3a UU KUP, WP harus membayar pajak paling sedikit sebesar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan bila ingin mengajukan keberatan.

Namun, apabila WP ingin membayar lebih dari itu juga diijinkan. “Ini dilakukan agar tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda 50% pada saat hasil keberatan, ditolak, sesuai Pasal 25 ayat 9 UU KUP,” katanya.

Selain itu, jika keberatannya dikabulkan, WP akan menerima imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak tersebut. Hal ini menurutnya cukup adil mengingat konsep bunga adalah konsep waktu atas uang yang dipinjamkan kepada pihak lain.

Adapun, bagi WP yang tidak mempunyai masalah dengan cash flow, tax planning dengan skema ini sering digunakan jika mengajukan keberatan, mengingat besarnya ketidakpastian di tingkat keberatan.

Dalam Omnibus Law Perpajakan ini, pemerintah merombak skema dan aturan perpajakan yang selama ini berlaku untuk penguatan perekonomian.

Pada edisi Sabtu (8/2), Bisnis mengulas skema pajak digital dalam Omnibus Law Perpajakan, serta skema pajak dan retribusi daerah pada edisi Senin (10/2).

Payung hukum ekstra ini juga mengatur pemangkasan PPh badan secara bertahap dari 25% menjadi 20%. Bagaimana dunia usaha menyikapi hal ini? Apa yang perlu dilakukan otoritas pajak agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang?

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only