Omnibus Law Bisa Gerus Penerimaan Rp 80 T, Pemerintah Siapkan Mitigasi

JAKARTA – Pemberian sejumlah fasilitas perpajakan, termasuk pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh), dalam Omnibus Law Perpajakan diperkirakan akan menyusutkan penerimaan negara hingga Rp 80 triliun. Akan tetapi, hal itu dapat dimitigasi dengan upaya perluasan basis pajak dari langkah ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.

“Penerimaan berkurang (Rp 80 triliun) tapi untuk menggerakkan ekonomi. Mitigasinya dengan perluasan basis pajak, baik ekstensifikasi maupun intensifikasi,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo dalam acara media briefing di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (11/2).

Oleh karena itu, lanjut Suryo, melalui upaya pengegolan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan itu pula, penerimaan negara 2020 bisa dioptimalkan. Draf RUU tersebut telah masuk ke DPR pada Jumat (31/1).

Omnibus Law Perpajakan terdiri atas enam pilar, yaitu pertama meningkatkan pendanaan investasi. Kedua, sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Ketiga, penentuan sumber pajak orang pribadi. Keempat, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. Kelima, menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Keenam, pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan.

Dalam pilar pertama, untuk meningkatkan pendanaan investasi pemerintah akan menurunkan pajak penghasilan (PPh) badan yang diturunkan bertahap dari 22% pada 2021 dan 2022, menjadi 20% pada 2023 dan seterusnya. Kemudian, tarif PPh badan wajib pajak yang gpublic akan dikurangi lagi sebesar 3% dari tarif umum.

Selanjutnya, PPh akan dihapus dari dividen dalam negeri, dan tarif PPh Pasal 26 atas bunga akan disesuaikan. “Pajak yang ditarik akan dikembalikan kepada dunia usaha untuk menggerakkan ekonomi,” kata Suryo.

Pada pilar kedua, mengenai sistem teritori untuk penghasilan luar negeri, pemerintah merencanakan penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Kemudian, penghasilan warga negara asing (WNA) yang subjek pajak dalam negeri (SPDN) hanya dikenakan PPh atas penghasilannya di Indonesia.

Pada pilar ketiga, penentuan subjek pajak orang pribadi yaitu warga negara Indonesia (WNI) diaspora yang tinggal selama kurang dari 183 hari di Indonesia atau lebih dari 183 hari di luar negeri dapat menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN). Sedangkan WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka dia menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN).

Pada pilar keempat untuk mendorong kepatuhan WP dan wajib bayar secara sukarela, pemerintah akan merelaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi penguasaha kena pajak (PKP). Selain itu, pemerintah akan mengatur ulang sanksi administrasi dari pajak, pabean, dan cukai serta imbalan bunga.

Pengaturan ulang terhadap sanksi administrasi tentu akan meringankan para pelaku usaha agar industrinya tidak mati. “Kalau denda penalti 10 kali lipat, kalau bendanya salah (benda kena pabean), itu akan langsung mematikan industri itu sendiri,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Heru Pambudi.

Pilar kelima, untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri, pemerintah melakukan pemajakan transaksi elektronik dengan menunjuk platform memungut pajak pertambahan nilai (PPN), kemudian pajak dikenakan pada subjek pajak luar negeri (SPLN) atas transaksi elektronik di Indonesia.

Evaluasi Perda

Selain itu, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Prima Astera menyatakan, pemerintah akan merasionalisasi pajak daerah dengan menetapkan tarif pajak daerah yang berlaku nasional. Kemudian, mengevaluasi peraturan daerah (perda) pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terhadap kebijakan fiskal nasional.

Pemerintah, lanjut Astera, akan mencari keseimbangan antara mendorong investasi dan mendorong penerimaan dari pajak. Tarif pajak yang dianggap mengganggu investasi misalnya pengenaan pajak penggunaan air tanah yang dari cara menghitung basisnya mirip royalti.

“Padahal, perusahan tersebut sudah membayar royalti. Kami akan melihat lagi evaluasinya seperti apa. Kami akan melihat perda yang sudah ada. Tidak hanya tarif, tapi basis dan cara pengenaan. Lebih kepada harmonisasi,” kata. Pada klaster ini, relaksasi juga dilakukan pada jenis barang kena cukai.

Pilar keenam, pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan, pemerintah akan memberikan tax holidaysuper deduction tax, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus (KEK), PPh untuk Surat Berharga Negara (SBN), dan keringanan atau pembebasan pajak daerah oleh kepala daerah.

Dalam Omnibus Law Perpajakan ini, undang-undang yang terdampak adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU Pemerintah Daerah.

Sumber: Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only