Sudah Diserahkan ke DPR, Omnibus Law Perpajakan Mulai Disosialisasikan

Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai melakukan sosialisasi kepada kalangan pengusaha mengenai UU omnibus law perpajakan. Dirjen Pajak, Suryo Utomo mengatakan draft RUU omnibus law perpajakan sudah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tinggal menunggu pembahasan.

“Status RUU Omnibus Law sudah masuk ke Parlemen dan kita akan roadshow untuk sosialisasi kepada publik,” kata Suryo di kantor BKPM pusat, Jakarta, Senin (17/2/2020).

Suryo bilang kegiatan sosialisasi UU omnibus law dilakukan kepada masyarakat dan pengusaha, kegiatannya pun akan diperluas kepada seluruh sektor dunia usaha yang bisa memanfaatkan sejumlah insentif dalam UU tersebut.

Menurut Suryo, pihak DJP pun sudah melakukan sosialisasi kepada beberapa pengusaha luar negeri mulai dari Eropa, Asia, hingga Jepang.

“Kita sudah sampaikan RUU omnibus law perpajakan dengan pengusaha dari Eropa, beberapa negara Asia dan Jepang. Sudah ada empat chamber asosiasi pengusaha yang sudah dilakukan,” jelasnya.

Suryo melanjutkan insentif yang diberikan pada uu omnibus law perpajakan demi meningkatkan perekonomian nasional.

“Tujuan besar dari omnibus law ini bagaimana tingkatkan uang masuk ke sistem ekonomi Indonesia,” ungkapnya.

UU omnibus law perpajakan ini ada enam pilar dan 14 kebijakan yang mendukung peningkatan investasi di dalam negeri. Dikatakan Suryo, ada beberapa peraturan yang akan terdampak dari pembuatan UU yang dikenal sebagai sapu jagat ini, yaitu UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Kepabeanan, UU cukai, U PDRD, dan UU Pemda.

Pilar pertama adalah meningkatkan pendanaan investasi di tanah air. Di sini pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif PPh badan secara bertahap dari 25% menjadi 22% di tahun 2021 dan 2022, dan menjadi 20% mulai 2023 dan seterusnya. Kedua, menurunkan tarif PPh badan bagi perusahaan go publik atau terbuka. Ketiga, penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri. Keempat, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga.

Pilar kedua adalah sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Di mana, dalam pilar ini diatur mengenai penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Kedua, penghasilan warga negara asing (WNA) menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN) hanya atas penghasilan yang berasal dari Indonesia.

Pilar ketiga adalah penentuan subjek pajak orang pribadi. Di sini pemerintah memutuskan untuk menetapkan WNI yang tinggal lebih dari 183 hari di luar negeri dapat menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN) dan tidak lagi menjadi SPDN. Begitupun bagi WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari maka tercatat sebagai SPDN.

Pilar keempat adalah mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. Di sini pemerintah menetapkan kebijakan relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP). Lalu, ada pengaturan ulang bagi sanksi administratif pajak, pabean, dan cukai. Selanjutnya mengenai imbalan bunga.

Pilar kelima adalah menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Di sini pemerintah menetapkan kebijakan pemajakan bagi transaksi elektronik yang mana penunjukan platform memungut PPN, pengenaan pajak kepada SPLN atas transaksi elektronik di Indonesia. Kedua, kebijakan mengenai rasionalisasi pajak daerah yang mana dengan penetapan tarif pajak daerah yang berlaku nasional, dan evaluasi terhadap perda PDRB terhadap kebijakan fiscal nasional. Sedangkan kebijakan selanjutnya adalah relaksasi penentuan jenis barang kena cukai.

Pilar keenam adalah pengaturan fasilitas dalam UU perpajakan. Di sini pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, PPh untuk surat berharga negara, dan keringanan atau pembebasan pajak daerah oleh kepada daerah.

Sumber : Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only