Pelaku industri sebut kebijakan safeguard keramik belum maksimal tekan impor

JAKARTA. Hampir satu setengah tahun sudah sejak ketentuan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) alias safeguard terhadap impor produk ubin keramik diberlakukan.

Kendati demikian, ketentuan yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.010/2018 tentang pengenaan BMTP terhadap impor produk ubin keramik pada 12 Oktober 2018 lalu tersebut agaknya belum memberikan hasil yang maksimal.

Sekretaris Perusahaan PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk (CAKK), Juli Berliana mengatakan bahwa pihaknya sebenarnya sempat merengkuh berkah pemberlakuan kebijakan safeguard.

Diakuinya, perseroan memang merasakan adanya peningkatan volume penjualan keramik seiring dengan adanya penurunan volume impor keramik di tengah-tengah pemberlakuan kebijakan safeguard.

Sayangnya, manfaat ini tidak bertahan lama. Pasalnya, kebijakan pemberian fasilitas pengembalian pajak alias export tax refund yang dilakukan oleh China selaku negara dengan penguasa pangsa impor terbesar di pasar keramik dalam negeri memaksa produsen mencari strategi agar tetap bisa bersaing dengan harga keramik impor dari China yang memiliki harga lebih murah.

Menimbang situasi yang demikian, Juli mengharapkan adanya intervensi pemerintah dalam bentuk penetapan kuota impor keramik. “Tiap tahun pabrik lokal juga harus menambah efisiensi terus,” kata Juli ketika dihubungi oleh Kontan.co.id (18/2).

Senada, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto berujar volume impor keramik dari China yang sebelumnya sempat menekan industri keramik dalam negeri memang mengalami penurunan di semester I 2019.

Namun demikian, volume impor keramik dari China kembali melonjak di semester kedua tahun lalu. Hal ini dikarenakan adanya beberapa upaya antisipasi yang dilakukan oleh Pemerintah China seperti misalnya penurunan harga jual, pemberian fasilitas pengembalian pajak alias export tax refund bagi eksportir China, pelemahan nilai tukar Yuan, serta pengurangan ketebalan keramik untuk menekan biaya produksi dan distribusi.

Di sisi lain, impor keramik dari beberapa negara yang masuk ke dalam daftar negara yang dikecualikan dari ketetapan safeguard justru melonjak secara signifikan. Impor keramik India misalnya tercatat mengalami kenaikan hingga 1165% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari yang semula sebesar 1,2 juta m² di tahun 2018 menjadi 16 juta m² di tahun 2019.

Sementara itu, volume impor keramik dari Vietnam juga tercatat melesat hingga sekitar 25% yoy pada sepanjang tahun 2019 lalu. Alhasil, efek penurunan impor yang didorong oleh pemberlakuan safeguard pun tidak begitu signifikan, yakni hanya turun sekitar 9% yoy dari semula senilai US$ 325 juta di tahun 2018 menjadi senilai kurang lebih US$ 272 juta.

Menurut Edy, hasil yang demikian terbilang di bawah ekspektasi mengingat besaran BMTP yang dikenakan kepada negara sasaran safeguard diturunkan setiap tahunnya.

Seperti diketahui, Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.010/2018 menetapkan bahwa besaran BMTP terhadap impor ubin keramik sebesar 23% pada periode satu tahun pertama. 21% di periode satu tahun berikutnya, dan 19% setelah berakhirnya tahun kedua.

“Angka (penurunan impor) ini sangat mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan mengingat (besaran BMTP) mulai Oktober 2020 mendatang akan turun ke 19%,” ujar Edy ketika dihubungi Kontan.co.id (18/02).

Oleh karenanya, Asaki berharap pemerintah bisa segera menerapkan instrumen safeguard terhadap produk keramik impor dari India dan Vietnam. Menurut keterangan Edy, pihaknya telah mengajukan permohonan pemberlakuan safeguard atas produk keramik dari kedua negara tersebut kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) pada Januari 2020 lalu.

Edy mengaku optimis bahwa pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan pengenaan safeguard terhadap produk keramik impor dari India dan Vietnam. Pasalnya, pangsa impor India dan Vietnam dalam pasar ubin keramik dalam negeri meningkat seturut adanya kenaikan volume impor dari kedua negara tersebut.

Menurut catatan Asaki, pangsa impor India di pasar keramik dalam negeri meningkat dari yang semula di bawah 3% menjadi sebesar 22%.

Sementara, pangsa impor Vietnam naik dari yang semula di bawah 3% menjadi sebesar 7%. Adapun sebagian besar pangsa impor di pasar keramik dalam negeri masih dikuasai oleh keramik ubin keramik impor dari China dengan pangsa sebesar 72%.

Untuk diketahui, Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2011 Tentang Anti Dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan mengatur bahwa tindakan pengamanan hanya bisa diberlakukan terhadap barang dari negara yang memiliki pangsa impor di atas 3%.

“Negara yang porsi impornya sudah di atas 3% bisa dimasukkan ke dalam list safeguard,” terang Edy (18/02).

Dihubungi terpisah, Ketua KPPI, Mardjoko mengatakan pihaknya telah menerima permohonan pengajuan safeguard terhadap keramik impor dari India dan Vietnam. Saat ini, KPPI tengah mengkaji permohonan yang diajukan oleh Asaki.

“Kita harus cari argumentasi yg kuat baik secara yuridis maupun substantif sehingga manakala ada negara anggota WTO yg merasa keberatan atas keputusan Indonesia,” jelas Mardjoko kepada Kontan.co.id (18/02).

Pada nantinya, hasil kajian yang telah diolah ke dalam bentuk rekomendasi akan diteruskan ke menteri perdagangan untuk kemudian dimintakan persetujuan.

“Jika Mendag memutuskan untuk mengenakan BMTP kepada India dan Vietnam, maka pejabat terkait akan meminta kepada menkeu untuk melakukan perubahan lampiran daftar negara yg dikecualikan dari pengenaan BMTP sebagaimana tercantum dalam PMK No. 119/PMK.010/2018,” tambah Mardjoko (18/02).

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only