Penerimaan pajak tahun ini diperkirakan sulit mencapai target seiring pelemahan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19, turunnya harga minyak, dan tekanan ekonomi global.
Penerimaan pajak tahun ini diperkirakan sulit mencapai target seiring pelemahan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19, turunnya harga minyak, dan tekanan ekonomi global. Pemberian stimulus juga akan memperlebar kekurangan penerimaan pajak secara nasional.
Meluasnya pandemi Covid-19 telah berdampak serius terhadap berbagai lini sektor perekonomian dunia. Bukan hanya sektor transportasi dan pariwisata yang terpengaruh. Dampak dari penyakit yang disebabkan virus korona baru itu juga telah merambat ke sektor lain, mulai dari perdagangan, industri manufaktur, usaha kecil dan menengah, hingga investasi.
Kebijakan karantina wilayah atau lockdown di puluhan negara untuk mencegah penyebaran Covid-19 membuat kegiatan perekonomian dunia terhambat. Pembatasan sosial atau social distancing seperti yang dilakukan di Indonesia juga berdampak pada aktivitas ekonomi masyarakat.
Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia menurun akibat terganggunya rantai penawaran global, menurunnya permintaan dunia, dan melemahnya keyakinan pelaku ekonomi. Data Februari 2020 menunjukkan turunnya berbagai indikator dini global, seperti keyakinan pelaku ekonomi, purchasing manager index, serta konsumsi dan produksi listrik.
Sejumlah lembaga juga memproyeksikan turunnya pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 2 persen. Economist Intelligence Unit (EIU) menurunkan target pertumbuhan ekonomi global dari 2,3 persen menjadi 2,2 persen. Sementara Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,4 persen, turun dari perkiraan sebelumnya 2,5 persen.
Adapun Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 turun menjadi 2,5 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 2,9 persen dan juga proyeksi sebelumnya sebesar 3,0 persen. Kabar baiknya, jika pandemi Covid-19 bisa segera berlalu, perekonomian global diperkirakan kembali meningkat pada 2021 menjadi 3,7 persen, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya 3,4 persen.
Untuk Indonesia, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi lebih rendah dibandingkan perkiraan semula. Bank Indonesia memperkirakan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 berada di kisaran 4,2-4,6 persen, lebih kecil dari perkiraan semula 5,0-5,4 persen. Revisi itu diambil dengan mempertimbangkan adanya pengaruh jangka pendek pemulihan ekonomi dunia pasca-terjadinya Covid-19.
Penerimaan pajak
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia tersebut pada akhirnya bisa berimbas pada pertumbuhan penerimaan pajak nasional. Hal itu mulai tampak dari realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari hingga Februari tahun ini. Realisasi penerimaan pajak selama dua bulan itu hanya sebesar Rp 152,9 triliun. Hal ini berarti ada penurunan 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 160,9 triliun.
Realisasi penerimaan pajak selama dua bulan itu baru 9,3 persen dari target akhir tahun 2020 senilai Rp 1.642,57 triliun. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan juga minus 19,57 persen dengan realisasi Rp 20,2 triliun. Ini berbanding jauh dengan pencapaian 2019 yang tumbuh positif di level 40,46 persen dibanding tahun 2018.
Meski demikian, pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri masih tumbuh positif, berbanding terbalik dengan Februari tahun lalu yang mengalami kontraksi/minus. Penerimaan dari PPN dalam negeri mencapai Rp 30,64 triliun, tumbuh 4,81 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini sebagian besar ditopang oleh membaiknya kinerja sektor manufaktur.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kontraksi pada penerimaan pajak selama dua bulan ini terutama disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang menurunkan kinerja korporasi dan kegiatan ekspor impor serta penurunan harga minyak global yang menekan penerimaan dari minyak dan gas (migas).
Jika penyebaran Covid-19 tidak segera tertangani dengan cepat, sejumlah pengamat memperkirakan target penerimaan pajak tahun ini sulit tercapai. Padahal, tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 23,31 persen, yaitu dari Rp 1.332,06 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 1.642,57 triliun di tahun ini.
Beban stimulus
Untuk mencegah meluasnya dampak Covid-19 di Tanah Air, pemerintah memutuskan penerbitan beberapa paket stimulus ekonomi. Insentif fiskal dari pemerintah itu dimaksudkan agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan ekonomi tidak melemah. Namun, di sisi lain, kebijakan pemerintah menerbitkan paket stimulus tersebut juga bisa berpotensi memperlebar kekurangan penerimaan pajak atau shortfall.
Alokasi dana untuk dua paket stimulus penanganan Covid-19 itu sebesar Rp 158,15 triliun. Untuk paket stimulus I, pemerintah mengalokasikan dana Rp 10,3 triliun, dan paket stimulus II sebesar Rp 22,85 triliun. Ditambah dari pelebaran defisit anggaran Rp 125 triliun atau sekitar 0,8 persen produk domestik bruto (PDB).
Pada stimulus tahap pertama, pemerintah memberikan stimulus untuk pembebasan pungutan pajak hotel dan restoran selama enam bulan untuk 10 daerah destinasi wisata. Sebagai kompensasinya, nantinya pemerintah pusat akan menyalurkan dana Rp 3,3 triliun kepada pemerintah daerah.
Sementara pada paket stimulus tahap II, pemerintah akan menanggung Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk karyawan sehingga mereka menerima gaji penuh tanpa potongan pajak. Pemerintah juga menangguhkan PPh Pasal 22 yang berkaitan dengan pajak kegiatan impor bagi 500 importir bereputasi tinggi dan PPh Pasal 25 bagi badan usaha. Kebijakan ini berlaku untuk enam bulan, dari April sampai September 2020.
Padahal, untuk sektor manufaktur yang saat ini sumber pajaknya direlaksasi, masih menjadi penyumbang utama penerimaan pajak dengan kontribusi 29,4 persen. Pada 2019, penerimaan pajak dari sektor manufaktur mencapai Rp 365,39 triliun. Kendati stimulus pajak itu dibutuhkan pelaku usaha di tengah lesunya ekonomi, pemberian stimulus akan memperlebar kekurangan penerimaan pajak. Dengan berbagai insentif dan stimulus tersebut, shortfall pajak berpotensi melebar di tahun ini.
Shortfall pajak berpotensi lebih besar dari tahun lalu yang mencapai Rp 245,5 triliun. Stimulus pajak tersebut masih dibayangi oleh rasio pajak atau tax ratio yang belum optimal, masih di kisaran 10,9 persen di 2019 dari angka ideal 14 persen dari PDB. Selama ini, rasio pajak dari tahun ke tahun terus menurun. Penurunan perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB itu dipengaruhi penerimaan sektor migas yang lesu selain perubahan struktur perekonomian seiring perkembangan teknologi digital.
Tekanan ekonomi global
Selain faktor domestik, penerimaan pajak tahun ini juga akan banyak dipengaruhi oleh tekanan ekonomi global. Pandemi Covid-19 yang sudah menjangkiti lebih 190 negara telah mengubah peta perekonomian global. Secara makro, dampaknya terlihat dari penurunan volume perdagangan ekonomi internasional. Tekanan ekonomi global itu ujungnya bisa memengaruhi kinerja penerimaan pajak tahun ini.
Selain meluasnya wabah korona, tekanan penerimaan pajak juga timbul pada penerimaan PPh migas. Anjloknya harga minyak dunia karena perang harga antara Saudi dan Rusia memengaruhi penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas. Harga minyak sempat menyentuh level terendah sejak 2016, yaitu 30 dollar AS per barel (9/3/2020), jauh lebih rendah dibandingkan awal Januari 2019 saat harga minyak WTI masih berada di nominal 61,18 dollar AS per barel.
Penghitungan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menunjukkan, setiap harga minyak dunia turun 1 dollar AS per barel per tahun akan menekan penerimaan PPh migas hingga Rp 776 miliar. Sementara penerimaan sumber daya alam migas akan mengalami kenaikan atau penurunan sebanyak Rp 2,7 triliun per tahun.
Padahal, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia atau ICP dalam APBN sebesar 63 dollar AS per barel. Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Februari 2020 lalu pun hanya mencapai 56,61 dollar AS per barel, turun sebesar 8,77 dollar AS per barel dari 65,38 dollar AS per barel pada bulan sebelumnya.
Antisipasi
Untuk mengendalikan penurunan pajak tersebut, pemerintah bisa mengambil langkah-langkah antisipatif dalam rangka tetap menjamin kestabilan penerimaan pajak. Salah satunya adalah dengan memperluas basis pajak.
Caranya, dengan mengoptimalkan data keuangan dari perbankan dan lembaga lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Selain itu, ada pula informasi perpajakan yang dihimpun secara otomatis sebagai implementasi dari hasil konsensus global berupa automatic exchange of information.
Kepatuhan dari sektor atau wajib pajak juga bisa dioptimalkan. Otoritas pajak semestinya memperkaya data dan informasi basis pajak sehingga aspek kepatuhan formal bisa tumbuh dan kepatuhan material memiliki kualitas pajak yang baik. Tahun ini, pemerintah menargetkan tingkat kepatuhan formal wajib pajak di level 80-85 persen.
Pemerintah juga bisa mengambil strategi yang diarahkan guna mendorong peningkatan rasio pajak melalui pelbagai inovasi insentif fiskal untuk mendongkrak daya saing dan investasi. Tax ratio tahun 2020 ditargetkan sebesar 11,6 persen dari pendapatan domestik bruto.
Moderasi pemungutan juga bisa menjadi pilihan pemerintah di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak akibat virus korona baru. Moderasi pemungutan tersebut yakni pemerintah tak perlu terlalu memaksakan pemungutan pajak. Pemungutan pajak yang terlalu keras saat ini akan membuat kontraksi perekonomian.
Sumber: Harian Kompas
Leave a Reply