Indonesia Pernah Terapkan Metode Omnibus, DPR Diminta Serius Bahas RUU Ciptaker

Pakar hukum Bambang Kesowo mengatakan, penggunaan metode ‘omnibus’ bukan barang baru dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab pernah dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI.

Menurutnya, peraturan yang menggunakan metode omnibus, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Perppu ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.

“Omnibus ini bukan kali ini, ini sudah pernah dipakai metoda ini, yaitu ketika DPR mengesahkan Perppu tentang akses informasi keuangan kemudian menjadi UU Nomor 9 tahun 2017,” katanya dalam RDPU dengan Badan Legislasi DPR RI, Rabu (29/4).

Hanya memang waktu itu, tidak disebut sebagai metode omnibus. Dia menegaskan, omnibus merupakan metode untuk merangkai pelaksanaan secara terpadu sebuah kebijakan politik untuk berbagai kegiatan yang sebenarnya masing-masing sudah diatur dalam banyak Undang-Undang. Tanpa mengubah UU yang bersangkutan. Syarat ini dipenuhi oleh UU Nomor 9 Tahun 2017.

“Undang-Undang itu sederhana, memberikan akses kepada Dirjen Pajak untuk memperoleh informasi keuangan seluasnya, secukupnya, di perbankan, perasuransian, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya. Tanpa mengubah UU perbankan, tanpa mengubah UU Perasuransian, UU Pasar Modal, tapi akses diberikan kepada Dirjen pajak untuk memperoleh informasi keuangan. Itu sebenarnya omnibus yang sejati. Yang sebenarnya,” tandasnya.

DPR Diminta Tak Anggap Enteng Pembahasan RUU Ciptaker
Menteri Sekretaris Negara era Megawati ini meminta DPR RI tidak menganggap enteng pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Dalam pandangan dia, ada tantangan yang harus dihadapi DPR ketika membahas RUU usulan pemerintah tersebut.

“Saya sangat mendorong bapak ibu menjauhi sikap menggampangkan dan terlalu menyederhanakan. Kita butuh UU ini, kita butuh. Karena tujuannya baik. Tetapi tapi harus pintar-pintar menuangkannya,” jelasnya.

Menurutnya, jika menilik aspek formal, metode Omnibus Law yang dimaksudkan pemerintah belum diatur dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019.

Undang-Undang 12/2011 sebagaimana diubah menjadi UU 15/2019, kata dia, menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di tanah air. Dengan demikian, ada standar dan metode tertentu yang menjadi acuan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

“Ini Undang-Undang yang mengikat bapak ibu sendiri. Mengikat kita semua. Katakanlah ada satu UU yang bisa mencabut mengubah menghapus ketentuan sekian banyak UU dari satu UU seperti RUU Ciptaker ini. Kalau kita lihat dari sisi UU 12/2011 dan UU 15/2019 ini bagaimana? Ini harus kita akui dengan jujur, kalau dicari, ‘apa nggak boleh sih UU nyabutin begitu?’ UU ini, UU positif yang berlaku ini ndak omong apa-apa juga kok sebenarnya,” jabarnya.

“Tetapi kalaupun UU yang ada itu tidak ngomong, pertanyaannya apa lantas boleh seperti itu. Ini ibu bapak yang harus menimbang. Karena paham dan praktiknya selama ini, yang ditumbuhkan dari UU itu adalah bahwa mengubah UU harus melalui perubahan UU yang bersangkutan. Ini dari praktik yang berlangsung,” lanjut Bambang.

Karena metode ‘omnibus law’ belum diatur, maka bisa saja timbul penafsiran masing-masing fraksi atas UU 12/2011 sebagaimana diubah menjadi UU 15/2019. Jika demikian tidak tertutup kemungkinan malah akan terjadi benturan di internal DPR sendiri. Hal ini perlu diawasi, karena bisa saja merembes dan mempengaruhi masyarakat.

“Apakah ini akan diterjemahkan lurus atau mau agak diluwesin itu ibu dan bapak yang harus menjawabnya. Ini saya ungkap karena ini penting sekali dijaga. Jangan sampai benturan paham dan praktik tentang pembentukkan peraturan perundang-undangan yang selama ini dikenal ini tabrakan dengan elaborasi ini kalau dilihat dari sisi UU 12/2011 dan UU 15/2019. Ini perlu harus kita waspadai. Kalau sudah nanti ramai di dalam antarfraksi tabrakan, beritanya pasti ramai. Kalau beritanya ramai, ndak bisa dielakkan pasti di luar juga ikut ramai,” ungkap Bambang.

Karena itu, dia berharap hal ini menjadi perhatian serius bagi anggota DPR RI. Tujuan baik yang mau dicapai dengan RUU Ciptaker, tegas dia, tidak boleh mengabaikan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini.

“Ini sangat bergantung pada bapak ibu semua. Tapi kalau digarisbawahi, ini problem yang tampil adalah kemampuan penyesuaian tujuan yang baik seperti menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya melalui penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi tujuan yang baik ini bagaimana caranya supaya seiring dengan bentuk dan teknik penuangan materi yang sesuai dengan UU yang sudah kita pegang sebagai pedoman tadi,” tutupnya.

Sumber : Merdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only