1.001 Cara Pemerintah Kejar Pajak Digital

JAKARTA – Mulai 1 Agustus 2020 para pelanggan Netflix hingga Spotify wajib membayar PPN sebesar 10%. Pajak tersebut akan dibebankan oleh konsumen, lalu bagaimana dengan pajak penghasilan (PPh) oleh perusahaan digital dari luar negeri?

Pekan ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menunjuk enam perusahaan global yang telah memenuhi kriteria sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Mereka yakni Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB.

Enam perusahaan tersebut baru tahap pertama yang telah menerima surat keterangan terdaftar dan nomor identitas perpajakan sebagai pemungut PPN. Ke depan pemerintah juga akan menambah beberapa perusahaan global pemungut pajak digital.

Indonesia memang pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Hal ini didukung dengan jumlah penduduknya yang besar dibanding negara lain di wilayah regional. Belum lagi pada 2020-2030 Indonesia diperkirakan mengalami era bonus demografi. Pada periode tersebut penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksi tembus 297 juta jiwa.

Selain bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, penerapan pajak digital yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 ini juga merupakan upaya pemerintah untuk mendorong terciptanya rasa keadilan bagi seluruh pelaku usaha di Tanah Air.

Pada kenyataannya, upaya pemerintah memungut pajak digital atas penyedia layanan data, informasi, dan multimedia atau yang kerap disebut perusahaan over the top (OTT), e-commerce, dan media sosial ini tak mudah dan panjang. Sejak 2017 DJP telah menerbitkan surat edaran bernomor SE-04/PJ/2017 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap bagi Subjek Pajak Luar Negeri Penyedia Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet. Peraturan ini untuk memastikan perusahaan OTT luar negeri yang tergolong bentuk usaha tetap (BUT) sebagaimana disyaratkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Satu di antara kriterianya adalah berkantor di Indonesia.

Berlanjut, pada 2019 Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap. Melalui peraturan ini seluruh unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia wajib mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan kepemilikan NPWP, maka perusahaan digital luar negeri menjadi BUT dan tergolong subjek pajak.

Sedangkan yang terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang pelanggan atau konsumen layanan digital bakal dikenai PPN sebesar 10%.

Penerapan PPN ini bahkan sempat mendapat tentangan dari Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara basis dari perusahaan digital seperi Netflix. Lantas, seberapa kuat dan beranikah pemerintah untuk tetap menarik pajak pada perusahaan digital di luar negeri?

Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation (CITA) Ruben Hutabarat mengatakan, seharusnya pemerintah sudah memiliki kewenangan kuat untuk menarik pajak PPN. Terutama pada perusahaan digital yang memiliki basis di luar negeri.

Mengingat, pemerintah sudah mengeluarkan dua peraturan langsung untuk memperkuat posisi pemerintah. Misalnya aturan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah dikeluarkan pemerintah lebih dahulu.

Menurut Ruben, dengan UU ini, perusahaan di luar negeri termasuk digital ini bisa dipungut PPN oleh pemerintah meskipun perusahaan ini tidak memiliki basis kantor di dalam negeri. Tanpa ada perppu tersebut, pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk memungut pajak PPN kepada Netflix dkk sebab perusahaan digital tersebut tidak memiliki kantor yang ada di Indonesia.

Lagi pula, lanjut Ruben, yang dikenakan pajak atau yang berkewajiban membayar adalah konsumen yang merupakan dari dalam negeri. Sedangkan perusahaan digital hanya berkewajiban untuk mengumpulkan.

“Iya, yang menanggung beban pajak ini pada akhirnya konsumen. Tapi, kalau hanya mengandalkan UU PPN entitas luar negeri ini tidak bisa ditunjuk sebagai pemungut. Makanya, pemerintah mengatur ini ke dalam perppu,” kata Ruben di Jakarta belum lama ini.

Lalu, bagaimana dengan pajak penghasilan (PPh) yang seharusnya dikenakan oleh perusahaan digital? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan akan segera menarik PPh atas perusahaan digital luar negeri seperti Netflix, Spotify, Zoom, dan lain-lain bila konsensus global terkait pajak digital sudah ditentukan.

Payung hukum penarikan pajak ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

UU 2 Tahun 2020 menyebutkan setiap Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menjalankan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) selama memiliki manfaat ekonomi atau significant economic presence dari Indonesia maka akan dikenai PPh atau Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Artinya, meski Netflix dan perusahaan digital lain tidak memiliki kantor di Indonesia, mereka tetap wajib menyetor pajak penghasilan.

Kendati demikian, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan lebih lanjut pemungutan PPh atau PTE. Yang jelas, Menkeu Sri Mulyani bilang pemerintah tidak mau tergesa-gesa menarik PPh. Penarikan pajak ini akan menunggu konsensus global terlebih dahulu agar tercipta tarif PPh perusahaan digital yang sama rata.

Sumber : Sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only