Jalan Terjal Pajak Digital

Kebijakan pengenaan pajak digital oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan raksasa teknologi menuai reaksi luar biasa, terutama tentang rencana Indonesia menerapkan pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE).

Adalah Amerika Serikat (AS) yang akan melakukan investigasi pajak digital kepada Indonesia melalui United States Trade Representative (USTR). AS menganggap pada intinya ada mekanisme yang dianggap tidak pas dari sistem perpajakan tersebut.

Pemerintahan Donald Trump bahkan sempat geram ketika Indonesia resmi mengenakan PPN per 1 Juli 2020, meski hal tersebut akhirnya dapat diklarifikasi. Saat ini, ada berderet-deret nama perusahaan raksasa teknologi AS yang mencari nafkah di Indonesia.

Masalahnya, di dalam UU No. 2/2020 yang pada intinya tentang kebijakan keuangan negara, pemerintah telah merumuskan tiga jenis pajak digital. Selain PPN, ada pengenaan PPh dan PTE. Inilah awal munculnya ketegangan itu.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tak menentu ini, pajak menjadi salah satu tumpuan penting bagi negara untuk menjaga arus kasnya. Namun, ternyata langkah itu tidak gampang. Indonesia tak sendirian menghadapi ancaman dari negeri adikuasa itu. Ada Brasil, Austria, India, Inggris, Italia, Turki, hingga Spanyol yang mengalami kondisi serupa.

AS sendiri punya rasionalitas yang kuat mengapa menempuh jalur investigasi. Makanya, AS tak segan merapkan langkah serupa itu kepada Inggris sekalipun, yang notabene selalu menjadi konco kenthel-nya di semua matra kehidupan.

Pemerintah AS berdalih investigasi pajak digital itu untuk membuktikan dugaan adanya ketidakadilan yang menimpa banyak perusahaan teknologinya. Sejauh ini, markas besar dan operasional mereka sebagian besar berada di AS, tetapi mengapa kegiatan usaha mereka justru dikenakan pajak berlapis-lapis di tempat lain di luar AS?

Pengenaan pajak yang semangat dasarnya adalah untuk menegakkan prinsip kesamaan dan keadilan (equity), tetapi menurut AS, langkah Indonesia dan negara lain justru dinilai tidak adil dan diskriminatif. Terdengar cukup aneh ada negara besar merasa terdiskriminasi oleh negara-negara kecil.

Selain itu, ada kabar yang menyebutkan bahwa investigasi ini hanyalah langkah kecil AS. Jika USTR menemukan adanya fakta penyimpangan, entah apapun istilahnya, AS akan mengambil langkah lanjutan, bisa berupa retaliasi dagang atau sanksi ekonomi ‘suka-suka’ lainnya.

Atas ancaman investigasi dari negeri adikuasa itu, siapa yang tidak bergidik, meski jelas-jelas perusahaan raksasa teknologi AS itu memulung jutaan dolar dari konsumen Indonesia yang maha besar?

Akhirnya bisa dilihat, pemerintah Indonesia pun melunak. Ruang dialog lantas dikedepankan. Seolah-olah senjata buatan lokal berupa UU No. 2/2020, belum cukup canggih dan ampuh menangkis ancaman itu.

Harian ini menilai ruang dialog memang harus dikedepankan mengingat masih ada celah lemah yang dapat dibidik AS untuk menguliti skema fiskal digital ini. Misalnya saja terkait dengan pengenaan PPh yang belum ada konsensus globalnya.

Selain itu, nasihat para pakar pajak di negeri ini perlu didengar. Hal ini berkaitan erat dengan pengenaan PTE yang perlu didesain penuh kehati-hatian, agar tidak terkesan Indonesia hanya menyasar perusahaan teknologi AS.

Seperti yang dituliskan oleh harian ini, ruang dialog untuk mengikuti konsensus global harus tercipta sehingga persoalan pajak digital yang bersifat global harus dimusyawarahkan secara multilateral.

Ini sekaligus menuntut kedewasaan sikap pemerintah AS yang harus ikut terlibat dalam pembicaraan agar konsensus global dapat tercapai. Dengan dialog, diharapkan AS turut serta mengeluarkan isi otaknya bukan selalu menjulurkan ototnya.

Dengan dialog, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya berharap ada titik temu agar tidak selalu dirugikan oleh manuver politik perpajakan AS. Namun, semua tidak mudah karena jalan diplomasi juga sangat terjal.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only