Pajak Netflix cs Dibayar Pelanggan, Bikin Daya Beli Makin Lemah?

Jakarta – Mulai 1 Agustus 2020, barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital seperti Netflix cs kena pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%. Pengenaan PPN ini dibebankan kepada masyarakat Indonesia yang berlangganan.

Di tengah pandemi Corona, apakah kebijakan tersebut menggerus daya beli masyarakat?

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat atau tingkat konsumsi rumah tangga.

“Menurut saya nggak sih, karena ini konsumennya kelas menengah ke atas,” kata Tauhid saat dihubungi detikcom, Jakarta, Selasa (4/8/2020).

Dia menilai justru penjualan perusahaan internasional berbasis digital ini masih tumbuh dibandingkan dengan perusahaan sektor lainnya. Sebab, selama pandemi Corona banyak masyarakat yang memanfaatkan barang dan jasanya.

Senada diungkapkan pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurut dia pengenaan PPN 10% terhadap barang dan jasa digital tidak menurunkan daya beli masyarakat.

“Pengenaan PPN atas jasa digital dari luar negeri tidak akan menggerus daya beli, mengingat jumlah atau kenaikannya tidak seberapa. Contohnya yang berlangganan pakai mobile atau ponsel naiknya cuma Rp 5.000 perak,” kata dia.

Fajry menjelaskan, pengenaan PPN 10% yang dibebankan kepada konsumen juga sudah sesuai dengan aturan yang ada. Di mana yang berhak mendapatkan PPN adalah negara yang menjadi konsumen.

“Jadi atas konsumsi jasa digital yang berhak terjadi di Indonesia, negara Indonesia berhak atas PPN-nya,” ujarnya.

Mengenai kewajiban pajak penghasilan (PPh) perusahaan-perusahaan tersebut, Fajry menilai perusahaan internasional berbasis digital ini harus memiliki kantor perwakilannya terlebih dahulu di Indonesia atau disebut bentuk usaha tetap (BUT).

“Nah perusahaan digital inikan sebagian tidak memiliki BUT di Indonesia, jadinya Indonesia tidak berhak atas PPh Badannya,” jelasnya.

Menurut dia, untuk menarik PPh atas keuntungan perusahaan berbasis digital ini juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya butuh kesepakatan secara multilateral yang diakomodir oleh OECD.

Lebih lanjut dia menilai, pengenaan PPN atas barang dan jasa digital ini seperti perdagangan internasional pada umumnya. Oleh karena itu, pengenaan PPN kepada pelanggan menjadi salah satu upaya yang ditempuh pemerintah.

“Digital ini menjadi concern karena mereka tidak memiliki kehadiran fisik, sehingga konsep BUT menjadi tidak relevan lagi. Tapi kita perlu hati-hati, ini masih wilayah abu-abu karena perusahaan digital yang tidak memiliki BUT tak hanya terkait pajak saja, tapi ada faktor lain,” katanya.

“Kalau wilayah abu-abu seperti ini, maka solusinya ada kesepakatan bersama atau konsensus. Inilah mengapa kita mengambil langka multilateral (konsensus bersama) bukan unilateral (sepihak),” tambahnya.

Sumber: Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only