JAKARTA. Pemerintah perlu mengantisipasi lonjakan utang menyusul proyeksi makin jebloknya pendapatan negara serta konsekuensi dari membengkaknya kebutuhan belanja yang ekspansif.
Sebaliknya, jika pemerintah berusaha untuk menekan utang, maka pelaksanaan konsolidasi fiskal pada tahun depan sangat tergantung pada cepat atau lambatnya proses pemulihan ekonomi nasional.
Antisipasi lonjakan utang ini mendesak karena pada pekan lalu pemerintah mencium gelagat buruk terhadap penerimaan pajak pada tahun ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyebutkan ada risiko penerimaan pajak 2020 melenceng dari outlook APBN 2020 yang dipatok di kisaran Rp1.198,5 triliun atau -10% year on year (yoy).
Dalam catatan Bisnis, estimasi penerimaan pajak paling pesimistis pada tahun ini berada di kisaran -14% atau senilai Rp1.146,1 triliun. Artinya, dengan target penerimaan pajak 2021 senilai Rp1.268,5 triliun atau tumbuh 5,8%, pertumbuhan penerimaan pajak 2021 berpotensi membengkak di kisaran 10,6%.
“Kalau dilihat datanya sampai turunnya penerimaan perpajakan sangat dalam dan tanda-tanda realisasinya lebih dalam dari yang kita perkirakan itu makin besar,” kata Febrio, pekan lalu.
Dengan risiko tersebut, dia mengatakan bahwa kebijakan fiskal pada 2021 lebih ditekankan ke arah konsolidatif. Selain mobilisasi penerimaan pajak, untuk mendukung kebijakan tersebut pemerintah juga mulai konservatif dalam menggelontorkan insentif perpajakan.
Namun demikian, pemerintah juga paham risiko pada tahun depan masih cukup besar. Sebagai tahun pemulihan, kebutuhan anggaran untuk mendorong normalisasi ekonomi masih cukup besar.
Sementara itu, ruang fiskal pemerintah pada 2021 juga relatif sempit, karena kebutuhan pembiayaan defisit yang melonjak pada tahun ini yakni 6,34% dari produk domestik bruto (PDB). Apalagi jika pembiayaan dari penerimaan pajak tak sesuai ekspektasi.
Febrio mengatakan bahwa kebutuhan pembiayaan APBN 2021 sebesar 5,5% dari PDB, sekitar Rp971,2 triliun, atau sedikit turun dibandingkan dengan tahun ini. Pemerintah menyebut, pemenuhan kebutuhan pembiayaan tetap memanfaatkan sumber-sumber existing dan well-established maupun sumber yang sifatnya khusus.
Salah satunya dengan mempertahankan peran Bank Indonesia (BI). Kendati demikian, Febrio memastikan skema burden sharing dengan bank sentral hanya berlaku untuk tahun ini.
Bank sentral tetap bisa masuk ke pasar perdana, tetapi hanya berperan sebagai stanby buyer terhadap surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintan.
Febrio menilai pemerintah tetap berupaya menjaga kepercayaan pasar obligasi negara. Saat ini, menurutnya, 80% utang pemerintah dalam bentuk SBN.
“Integritas pasar ini penting, makanya ketika 2020 kita melakukan burden sharing SKB ini adalah one off,” ujarnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat peningkatan utang relatif sulit untuk dihindari di tengah situasi pandemi Covid-19.
Di tengah pandemi, kata dia, kebutuhan belanja pemerintah meningkat sementara kemampuan penerimaan pajak melambat, sehingga, kebutuhan pembiayaan bertambah dalam jumlah yang sangat signifikan.
“Utang pemerintah tidak terlepas dari penerbitan surat utang yang gencar untuk kebutuhan belanja di tengah pandemi,” kata Yusuf.
KOMPENSASI
Dia menilai kenaikan utang pemerintah saat seharusnya dikompensasi kenaikan pajak yang lebih besar di kemudian hari. Namun, hal ini akan menjadi dilema bagi pemerintah karena pemberian insentif pajak masih diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan komitmen pembiayaan burden sharing yang bersifat one off perlu direalisasikan untuk membiayai defisit anggaran.
Menurutnya, hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan diri pelaku pasar, khususnya investor surat utang. “Terkait pembiayaan kita berharap bahwa sekalipun masih ada tantangan pada penerimaan pajak, kita berhadap kondisi ekonomi lebih cepat pulih,” kaa dia.
Josua menambahkan, yang terpenting adalah memastikan akselerasi stimulus dan produktivitas kebijakan bisa dirasakan oleh konsumen atau pelaku usaha, sehingga dampak stimulasi ekonomi bisa terlihat pada tahun depan.
“Sehingga beban pembiayaan bisa lebih berkurang dengan adanya penerimaan pajak yang makin lebih baik,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia
Leave a Reply