Cangkang Sawit Andalan Ekonomi Masa Depan, Sekarang Baru Terekspor 18 Persen, Hasilkan USD250 Juta

BOGOR – Cangkang sawit (Palm Kernel Shell/PKS) asal Indonesia menjadi primadona di pasar global khususnya di Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Polandia.

Dilaporkan di Warta Ekonomi, cangkang sawit dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga bioenergi karena memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi.

Melalui ekspor, pemerintah Indonesia memperoleh devisa senilai US$250 juta per tahun dengan rincian kontribusi pajak mencapai US$55 juta per tahun.

Data APCASI (Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia) mencatat, selama satu dekade terakhir, produksi cangkang sawit di Indonesia terus meningkat.

Sepanjang tahun 2019, produksi cangkang sawit di Indonesia mencapai 9,97 juta ton dengan volume ekspor 1,72 juta ton atau sekitar 17,25 persen dari total produksi.

Sebagai informasi, Indonesia saat ini memproduksi rata-rata 48 juta ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) per tahun.

Bila dikonversikan, CPO dihasilkan sekitar 23 persen dari buah sawit. Sementara, cangkang sawit dihasilkan sekitar 5-6 persen dari buah sawit.

Ketua Umum APCASI, Dikki Akhmar, mengatakan: “Yang kita ekspor baru mencapai 1,7–2 juta ton. Berarti, hanya sekitar 18-20 persen. Sisanya masih banyak. Ke mana itu sisanya? Sebagian besar sudah diserap kebutuhan industri dalam negeri, khususnya digunakan oleh pabrik kelapa sawitnya sendiri. Sisanya masih banyak di daerah terpencil yang tidak bisa digunakan karena faktor logistik yang susah dan tidak lagi bernilai komersil.”

Khusus negara Jepang, pascatragedi nuklir Fukushima pada 2011 silam, cangkang sawit sebagai sumber bioenergi mulai dilirik Jepang.

Tidak hanya itu, hal lain yang membuat permintaan cangkang sawit ke Jepang sangat besar adalah karena adanya kebijakan pemerintah khususnya METI (Ministry of Economy, Trade and Industry) yang menjadikan cangkang sawit dalam FIT tariff sebagai biomassa.

Bahkan, perusahaan pembangkit listrik yang menggunakan cangkang sawit sebagai bahan baku akan mendapatkan insentif kurang lebih 1,5 Yen per kWh.

Hingga saat ini, Jepang mengimpor sekitar 1,2 juta ton cangkang sawit per tahun.

Dengan kondisi ini, lebih lanjut Dikki menjelaskan: “Karena itu, masuk akal bila anggota APCASI yang berkontrak dengan perusahaan pembangkit listrik di Jepang umumnya kontrak jangka panjang. Ada yang berkontrak selama 15 tahun. Ada juga yang 10 tahun.”

Sangat jelas terlihat bukan, tidak hanya minyak kelapa sawit, bahkan cangkang sawit mampu menggambarkan masa depan posisi komoditas strategis Indonesia ini.

Melonjaknya permintaan cangkang sawit dari Jepang ini juga diamini oleh mantan Kepala BPDPKS, Bayu Krisnamurthi.

“Anda bayangkan nanti kalau petani nilainya tidak hanya dilihat dari minyak, tetapi dilihat juga dari biomassa yang mereka hasilkan. Sawit adalah produsen biomassa terbesar dari semua tanaman komersial. Sekitar 28 ton per hektare biomassa yang dihasilkan oleh sawit. Itu paling besar dibandingkan dengan yang lain,” kata Bayu.

Lebih lanjut dia menegaskan, “Jangan lagi terulang kisah gas. Barang bagus kita jual murah dan kemudian beli barang jelek, mahal lagi. Kita harus mulai dari sekarang untuk cangkang, bungkil kelapa sawit untuk dijadikan energi yang ramah lingkungan.”

“Oleh sebab itu, pemerintah harus memiliki strategi yang tegas. Cangkang dan bungkil kelapa sawit harus dimanfaatkan di dalam negeri karena dunia luar saat ini mencari cangkang dan bungkil sawit,” kata dia.

Sumber : Pikiran-Rakyat.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only