Ekonom: Masalah Ekonomi RI di Fiskal, Tapi Moneter yang Diobok-obok

Jakarta -Di tengah pandemi COVID-19 yang masih ganas di Indonesia, muncul rencana dilakukannya Revisi Undang-Undang (RUU) nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Bahkan pembahasannya mulai bergulir di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut Ekonom Senior Faisal Basri, di masa krisis yang diakibatkan pandemi ini seharusnya pemerintah fokus membenahi wabah COVID-19 yang menjadi akar permasalahannya. Lalu untuk ekonomi sendiri menurut Faisal seharusnya yang fokus dibenahi adalah sektor fiskal, seperti terus menurunkan penerimaan negara dari sisi pajak.

“Jadi ini nestapanya, makanya please masalahnya di fiskal dan kementerian teknis, tapi ini moneter diobok-obok jadi solusinya. Caranya DPR sedang menggodok UU yang mengubah UU tentang BI. Akan dibentuk Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan, sehingga BI menjadi subordinasi dari pemerintah,” ujarnya dalam acara Diskusi Online Indef, Kamis (3/9/2020).

Padahal, lanjut Faisal, dalam UUD 1945 pasal 23D menyebutkan negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur undang-undang.

Undang-undang yang dimaksud adalah UU 23/1999 tentang BI tersebut. Pasal 4 ayat 2 menyebutkan Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

“Kemudian berseliweran ada rencana perppu tentang LPS. Jadi ini semua diselesaikan dengan cara moneter. Gatal tangan kita, kaki yang diamputasi. Apa salahnya moneter ini? Kan yang salah tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh,” tuturnya.

Faisal menilai apa yang dilakukan pemerintah saat ini termasuk melakukan reformasi sistem keuangan merupakan kebijakan yang keliru. Seharusnya pemerintah hanya fokus menangani penyebaran COVID-19 terlebih dahulu.

“Jadi kuncinya jinakan COVID-19, bukan mengeluarkan jurus mabok. Setelah itu barulah benahi perpajakan agar tax ratio naik lagi,” tegasnya.

“Benahilah ke akar, benahilah fiskal banyak sekali yang bolong. Kemudian benahi COVID-19. Jangan sekali-sekali utak-atik yang lain dulu, seperti UU BI, perppu LPS, jangan utak atik dulu, itu artinya kita renovasi rumah di tengah badai, baru kita perbaiki 1 jam dihantam badai lagi,” tutupnya.

Sementara Peneliti Indef, Nurul Huda menambahkan seharusnya memperbaiki kinerja perpajakan. Sebab masih banyak potensi yang hilang dalam penerimaan perpajakan.

“Realisasi perpajakan terus merosot, dibandingkan perpres 72 tahun 2020, perpajakan baru 50%, dibandingkan APBN 36%,” ujarnya.

Untuk membenahi penerimaan perpajakan tentunya pemerintah harus meningkatkan tax rasio atau rasio pajak. Setidaknya tax ratio bisa dikejar hingga double digit.

Selain itu pemerintah juga patut melakukan evaluasi terhadap insentif pajak yang sudah diberikan ke industri. Jika insentif itu tidak memberikan dampak yang berarti terhadap ekonomi secara menyeluruh maka insentif pajak itu hanya dinikmati oleh beberapa pihak saja.

Meski begitu, Huda juga menegaskan, sektor kesehatan menjadi yang paling penting di masa pandemi saat ini. Jika sektor kesehatan belum pulih maka akan sulit mengejar penerimaan perpajakan.

“Setoran pajak tergantung dari aktivitas ekonomi, aktivitas meningkat perpajakan meningkat,” tutupnya.

Sumber ; Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only